Kamis, 12 Juli 2012

ayat ahkam 2


Tatacara Peradilan : Memutuskan Berdasarkan Saksi
QS. An-Nuur : 4-5

Artinya :” Dan orang-orang yang menuduh (berzina) kepada wanita-wanita yang baik-baik kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1]




A.    Pendahuluan
Setiap muslim diharapkan mampu menjaga nama baik saudaranya sesama muslim. Bukanlah membuka dan menebar rahasia atau aib yang akan mencemarkan nama baik sesama muslim lainnya. Maka jika ada orang yang menuduh muslim berbuat zina namun tidak dapat membuktikannya dengan mengemukakan empat orang saksi seperti yang terkandung dalam surat An-nur ayat 4, maka dia dianggap sebagai orang yang telah berbuat Qadzaf atau menuduh laki-laki atau wanita baik-baik berbuat zina. Al-quran dan Hadits telah menetapkan hukuman (hadd) tertentu yang merupakan dosa besar yang mengharuskan adanya hukuman bagi pelakunya, hal tersebut dimaksudkan agar memelihara jiwa, kehormatan dan menjamin kemaslahatan umat.
Tuduhan zina terhadap perempuan suci artinya melontarkan tuduhan terhadap perempuan-perempuan muslimah yang selalu menjaga kehormatannya, mencemarkan nama baik mereka tanpa bukti yang sah, karena tuduhan tersebut menimbulkan berbagai pengaruh buruk terhadap individu ataupun masyarakat dan membuat mereka ragu terhadap perempuan-perempuan terhormat serta menimbulkan rasa sakit yang merobek-robek hati sebagai hukuman terhadap penuduh yang hampir sama dengan hukuman zina.

B.     Tafsir Mufradat
Ayat ini menerangkan ketentuan hukuman delapan puluh kali dera bagi orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik yang suci dan muslimah dengan tuduhan berbuat zina tanpa sanggup mendatangkan empat orang saksi yang membenarkan tuduhannya itu. Selain itu penuduh yang gagal membuktikan kebenaran tuduhannya lewat empat orang saksi untuk selama-lamanya tidak akan diterima kesaksiannya(masuk daftar hitam), kecuali jika mereka bertobat dan memperbaiki dirinya, maka Allah maha pengampun lagi maha penyayang.[2]
Kata  يَرْمُونَ  pada mulanya berarti melempar , tetapi yang dimaksud disini adalah makna majazi, yakni menuduh, ayat ini tidak menjelaskan tuduhan apa yang dimaksudkan tapi dari konteksnya dapat dipahami bahwa ia adalah tuduhan berzina. Memang pada zaman jahiliah sering kali tuduhan semacam ini dilontarkan bila mereka melihat hubungan akrab antara perempuan dan pria. Mereka juga sering menuduh wanita berzina, jika melihat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan suami ibu yang melahirkannya. Kata الْمُحْصَناتِ terambil dari akar kata hashana yang berarti menghalangi. Benteng dinamai hishn karena dia menghalangi musuh masuk atau melintasinya. Wanita yang dilukiskan dalam akar kata ini menurut Al-Quran, dapat diartikan sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian, karena dia adalah orang yang suci bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka bukan budak, atau seorang istri yang mendapat perlindungan dari suaminya[3]. Yang dimaksud dalam ayat ini menurut Ibn ‘Asyur adalah wanita yang merdeka yang telah bersuami.
Ulama- ulama berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian pada ayat diatas. Seperti terbaca ada tiga sanksi yang dijatuhkan pada pencemar nama baik itu, yaitu :
1.      Dicambuk delapan puluh kali
2.      Ditolak kesaksiannya sepanjang masa
3.      Dinilai sebagai seorang fasik
Mayoritas ulama memahami pengecualian itu menyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan yang dimaksud adalah sesudah pencambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi poin 2 dan 3. Dengan demikian apabila terbukti ia bertobat dan melakukan perbaikan maka kesaksiannya dapat diterima dan tidak lagi wajar dinamai fasik, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu hanya tertuju pada yang terakhir disebut, dengan demikian walaupun dia bertobat dan berbuat baik, kesaksiannya tetap tidak dapat diterima.
Sanksi pencambukan yang dijelaskan disini, ada yang memahaminya antara lain, Abu Hanifah – sebagai hak Allah. Sehingga yang dicemarkan namanya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan tetap harus dicambuk. Sedangkan imam malik dan Syafi’I menilainya hak yang dicemarkan namanya, sehingga bila dia memaafkan maka gugurlah pencambukan itu.

C.    Asbabun Nuzul[4]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Hilal bin Umayyah mengadukan kepada Rasul SAW, bahwa istrinya telah berzina. Lalu Rasul SAW meminta bukti, kalau tidak maka ia sendiri yang akan dicambuk. Hilal berkata “ya rasul, sekiranya salah seorang dari kami melihat beserta istrinya terdapat seorang laki-laki , apakah ia mesti mencari saksi terlebih dahulu?” Nabi SAW tetap meminta bukti atau ia sendiri yang dicambuk. Berkata Hilal : “demi Allah dzat yang mengutus engkau dengan haq , sesungguhnya aku benar dan mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang menghindarkan dari hukuman cambuk”.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika turun ayat “فَاجْلِدُوهُمْ ثَمانينَ جَلْدَةً وَ لا ”sampai “شَهَادَةً أَبَدًا ” berkatalah  Sa’d bin Ubadah seorang pimpinan kaum Anshar “Apakah demikian lafadh ayat itu ya Rasul ?”. bersabdalah Rasul : “hai kaum Anshar! Tidakkah kalian dengar ucapan pemimpin mu itu ?” berkatalah kaun Anshar :”ya Rasul janganlah tuan mencelanya . sesungguhnya ia orang yang sangat cemburu,tidak seorangpun yang berani mengawini wanita yang disukai sa’d ” berkatalah sa’d :” ya Rasul sesungguhnya aku tahu bahwa sesungguhnya ayat ini adalah haqdan ayat ini dari Allah, tapi aku merasa aneh jika aku mendapatkan wanita jahat yang beradu paha dengan seorang laki-laki, dan aku tidak boleh memisahkan atau mengusiknya sebelum aku datangkan empat orang saksi. Demi Allah aki tidak akan dapat mendatangkannya sebelum mereka selesai memuaskan nafsunya.” Beberapa hari kemudian terjadilah suatu peristiwa yang dialami oleh Hilal bi Umayyah, ia mengadu kepada Rasul tentang kejadian yang dialaminnya pada malam hari ketika ia pulang dari kebunnya. Ia melihat dengan matanya sendiri dan mendengar dengan telinganya sendiri bahwa istrinya sedang ditiduri dengan laki-laki akan tetapi ia dapat menahan diri sebelum mengadukannya kepada rasul . pengaduan Hilal tidak membuat Rasul senang dan bahkan menyulitkannya. Maka berkumpullah kaum anshar membicarakan peristiwa Hilal tersebut, mereka berkata :”kita telah diuji dengan apa yang dikatakan oleh sa’d bin ‘ubadah dan sekarang rasul pasti membatalkan kesaksian hilal dan akan menjilidnya” berkata Hilal: “demi Allah sesungguhnya aku mengharap agar Allah memberikan jalan keluar bagiku” .
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ‘Uwaimir dating kepada ‘Ashim bin ‘adi sambil meminta bantuannya :”tolong tanyakan kepada rasul bagaimana pendapatnya jika seorang laki-laki mendapati istrinya ditiduri orang lain, apakah ia boleh membunuhnya, kemudian si pembunuh itu dihukum bunuh atau hukuman apa yang harus dikenakan kepada penzina tadi?” ‘Ashim menanyakan hal tersebut kepada rasul akan tetapi rasul mencela pertanyaan itu.ketika bertemu lagi dengan ‘Uwaimir, ia berkata bahwa masalah yang diajukannya itu tidak membawa kebaikan kepadanya melainkan dicela oleh rasul.maka berkatalah ‘Uwaimir :”aku akan dating sendiri dan bertanya langsung kepada rasul”. Bersabda lah rasul : “sesungguhnya telah turun ayat berkenaan dengan kamu dan istri mu.”

D.    Munasabah
Para ulama tafsir menerangkan bahwa maksud ayat sebelumnya yaitu An-nur ayat 3 adalah laki-laki dan perempuan yang menjadikan perzinaan sebagai kebiasaan atau pekerjaan, itulah yang tidak boleh dan tidak layak untuk menikahi atau dinikahi orang-orang yang beriman. Laki-laki mukmin tidak boleh dan tidak pantas menikahi mereka, dan perempuan mukminah tidak boleh dan tidak pantas dinikahi mereka. Adapun laki-laki dan perempuan yang pernah berzina dan telah bertaubat, kemudian menikah dengan orang mukmin atau mukminah, hal itu dibenarkan. Apabila sesudah pernikahan masih juga berbuat zina, maka kepada pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan talak (untuk suami) atau cerai gugat (untuk istri) dengan alasan zina.
Sedangkan dalam ayat selanjutnya itu menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang menuduh orang berbuat zina tanpa adanya saksi lain selain dirinya,untuk menjaga kehormatan orang yang dituduh jika tuduhan tersebut tidak benar maka si penuduh akan dikenai sanksi hukum yaitu dera sebanyak delapan puluh kali,tidak diterima kesaksiannya dan dianggap fasik.

E.     Tafsir ayat
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik”
 Menuduh berzina wanita-wanita yang memelihara dirinya dari perbuatan zina. Menurut tafsir Quraish shihab wanita-wanita yang dimaksud adalah wanita-wanita terpelihara dan terhalangi dari kekejian karena ia adalah orang yang suci bersih,terhormat, bukan budak dan dilindungi suaminya. Sementara menurut Ibn Asyur yang dimaksud wanita dalam ayat ini adalah wanita merdeka yang telah bersuami. Namun menurut ulama mereka berpendapat sepakat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah wanita yang suci bersih, bermoral tinggi, baik telah menikah maupun belum.jika demikian siapapun wanita terhormat dengan keimananya yang dicemarkan nama baiknya dengan tuduhan zina, maka pencemarnya dituntut mendatangkan empat orang saksi atau didera.

“dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi”
Yang menyaksikan perbuatan zina mereka dengan mata kepala sendiri, menurut tafsir Ibnu katsir orang yang melemparkan tuduhan zina tanpa bias mendatangkan empat orang saksi yang membenarkan tuduhan tersebut.
maka deralah mereka”
 Bagi masing-masing dari mereka,jika tidak dapat mendatangkan empat orang saksi. Quraish shihab menjelaskan maka cambuklah wahai kaum muslimin melalui penguasa kamu mereka yang menuduh itu.maksudnya disini adalah hukuman yang dijatuhkan pada orang yang melakukan tuduhan dan tidak terbukti agar dikenai sanksi dan hukuman dilaksanakan oleh badan-badan yang berhak untuk menghukum, bukan sembarang orang.
“delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka”
 Menurut Quraish shihab hukuman delapan puluh kali dera jika penuduhnya itu adalah orang-orang merdeka, sedang jika hamba sahaya hanya empat puluh kali dera berdasarkan surat An-nisa : 25. Dan tidak menerima kesaksian apapun dari mereka.menurut Ibnu katsir selain si penuduh yang gagal membuktikan kebenaran tuduhannya lewat empat orang saksi untuk selama-lamanya tidak akan diterima kesaksiannya atau masuk daftar hitam.
“buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik
 karena mereka telah melakukan dosa besar.menurut Imam Abu Hanifah sanksi hukuman sebagai hak Allah, sehingga yang dicemarkan namanya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan tetap harus dicambuk. Sedangkan menurut imam Malik dan Syafi’I hak yang dicemarkan namanya jika ia memaafkan orang yang telah menuduhnya maka gugurlah hukuman tersebut.[5]
“Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki”
 amal perbuatan mereka. Ulama- ulama berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian pada ayat diatas. Mayoritas ulama memahami pengecualian itu menyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan yang dimaksud adalah sesudah pencambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi ditolak kesaksiannya dan dinilai sebagai orang fasik. Dengan demikian apabila terbukti ia bertobat dan melakukan perbaikan maka kesaksiannya dapat diterima dan tidak lagi wajar dinamai fasik, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu hanya tertuju pada yang terakhir disebut, dengan demikian walaupun dia bertobat dan berbuat baik, kesaksiannya tetap tidak dapat diterima[6].
“maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun  lagi Maha Penyayang”
 terhadap dosa tuduhan mereka itu kepada mereka, yaitu dengan memberikan inspirasi untuk bertobat kepada mereka, yang dengan tobat itu terhapuslah julukan fasik dari diri mereka, kemudian kesaksian mereka dapat diterima kembali. Akan tetapi menurut suatu pendapat bahwa kesaksian mereka tetap tidak dapat diterima. Pendapat ini beranggapan bahwa pengertian Istitsna atau pengecualian di sini hanya kembali kepada kalimat terakhir dari ayat sebelumnya tadi, yaitu, "Dan mereka itulah orang-orang yang fasik". Maksudnya hanya status fasik saja yang dihapus dari mereka, sedangkan ketiadagunaan kesaksiannya masih tetap.

F.     Relevansi surat An-Nur ayat 4-5 dengan peradilan
Untuk membuktikan benar atau tidaknya dakwaan pendakwa terhadap terdakwa maka proses pembuktian merupakan perkara yang amat menentukan. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan jenis pembuktian yang diakui legalitasnya. Hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah (QS 2: 283; QS 5:8). Dengan kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala.
Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:
إذَا عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلاَّ فَدَعْ
Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka tinggalkanlah (HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya sahih. Namun, adz-Dzahabi men-dhâ’îf-kannya)
Pihak yang dijadikan saksi juga bukan sembarang orang, namun hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting dalam kesaksian karena ia menentukan integritas seorang saksi dalam menyampaikan kesaksian. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Dengan kata lain, ia menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat dirinya—menurut pandangan orang-orang—keluar dari sifat istiqamah[7].
Masyarakat Islam hendaklah masyarakat yang lebih bersih dari tuduh-menuduh, intip-mengintip dan gunjing. Sebelum hukuman qadzob atau rajam dijalankan, terlebih dahulu hendaklah diusahakan menanamkan kembali cita masyarakat Islam, bukan semata-mata dari segi menjalan hukum, tetapi haruslah dalam segala bidang­nya. Kalau cara berfikir ummat Islam telah dituntun oleh kehendak Ilahi, jaranglah akan kejadian dilakukan hukum itu. Sebab tidak ada orang beriman yang akan sudi empat orang mengintip orang berzina. Sedang keterangan dari yang kurang dari empat orang, terancam pula oleh bukuman dera 80 kali. Di zaman Nabi sendiri yang dihukum hanyalah yang datang mengaku dan mintadihukum.

G.    Kesimpulan
Dari dua ayat di atas tampak sekali beratnya hukuman tuduhan perbuatan zina dan apabila tuduhan itu tidak terbukti, maka penuduh dapat hukuman berikut ini:
·         Hukuman fisik, yaitu dera delapan puluh kali dera.
·         Hukuman religi, yaitu dicap sebagai orang yang sangat kurang imannya dan dicap sebagai orang fasik sebagai imbalan atas kedustaan dan kebohongannya.
·         Hukuman moral, yaitu kewibawaannya di tengah-tengah masyarakat dicabut dan kesaksiannya ditolak, hingga ia benar-benar telah bertobat kepada Allah dan merehabilitasi nama baik perempuan-perempuan yang telah ia tuduh. Jika ia telah melakukan itu semua, maka hukuman yang ketiga dicabut.
Tuduhan itu tidak benar menurut ukuran Syari’at Islam kecuali bila ada empat orang saksi yang semuanya memberikan kesaksiaan yang pasti bahwasanya mereka benar-benar melihat hubungan seks yang dilakukan oleh tertuduh. Jika kesaksian seperti itu terpenuhi, (maka tuduhan berarti benar), jika tidak, maka hukuman dilakukan terhadap penuduh demi terpeliharanya kehormatan dan nama baik dari pelecehan dan pencemaran serta mencegah adanya rasa ragu dan keprihatinan dari masyarakat.






















DAFTAR PUSTAKA
Katsir Ibnu,Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir,Surabaya:PT.Bina Ilmu,2004
Quraish Shihab.M, Tafsir Al-Mishbah(Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran), Jakarta: Lentera Hati,2006
Dahlan.A,dkk, Asbabun Nuzul,Jawa Barat: IKAPI


[1] Yayasan Penyelenggara Penerjemah,Dep.Agama RI,Al-Quran dan Terjemahannya,(Jakarta:Proyek Pengadaan Kitab Suci A-Quran,1985),h.544
[2] Ibnu Katsir,Terjemahan Singkat Ibnu Katsir,Surabaya: PT Bina Ilmu ,2004,juz V,hal.,465
[3] M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Maraghi(Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Quran),Jakarta:Lentera Hati,2006,volume 5,hal.,287
[4] Ha.A Dahlan,dkk,Asbabul Nuzul,Jawa Barat : IKAPI,hal.,342
[5] M.Quraish shihab,Op.Cit,hal.,290
[6] Ibid.hal.,290
[7] Ahmad ad Daur, Ahkamu al-Bayyinat, (ttp, 1965), hlm.9

0 komentar:

Posting Komentar