Tatacara Peradilan : Memutuskan
Berdasarkan Saksi
QS.
An-Nuur : 4-5
Artinya :” Dan orang-orang yang menuduh (berzina)
kepada wanita-wanita yang baik-baik kemudian mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka
Itulah orang-orang yang fasik.
Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”[1]
A.
Pendahuluan
Setiap
muslim diharapkan mampu menjaga nama baik saudaranya sesama muslim. Bukanlah
membuka dan menebar rahasia atau aib yang akan mencemarkan nama baik sesama
muslim lainnya. Maka jika ada orang yang menuduh muslim berbuat zina namun
tidak dapat membuktikannya dengan mengemukakan empat orang saksi seperti yang
terkandung dalam surat An-nur ayat 4, maka dia dianggap sebagai orang yang
telah berbuat Qadzaf atau menuduh laki-laki atau wanita baik-baik berbuat zina.
Al-quran dan Hadits telah menetapkan hukuman (hadd) tertentu yang merupakan
dosa besar yang mengharuskan adanya hukuman bagi pelakunya, hal tersebut
dimaksudkan agar memelihara jiwa, kehormatan dan menjamin kemaslahatan umat.
Tuduhan
zina terhadap perempuan suci artinya melontarkan tuduhan terhadap
perempuan-perempuan muslimah yang selalu menjaga kehormatannya, mencemarkan
nama baik mereka tanpa bukti yang sah, karena tuduhan tersebut menimbulkan
berbagai pengaruh buruk terhadap individu ataupun masyarakat dan membuat mereka
ragu terhadap perempuan-perempuan terhormat serta menimbulkan rasa sakit yang
merobek-robek hati sebagai hukuman terhadap penuduh yang hampir sama dengan
hukuman zina.
B.
Tafsir
Mufradat
Ayat ini
menerangkan ketentuan hukuman delapan puluh kali dera bagi orang-orang yang
menuduh wanita yang baik-baik yang suci dan muslimah dengan tuduhan berbuat
zina tanpa sanggup mendatangkan empat orang saksi yang membenarkan tuduhannya
itu. Selain itu penuduh yang gagal membuktikan kebenaran tuduhannya lewat empat
orang saksi untuk selama-lamanya tidak akan diterima kesaksiannya(masuk daftar
hitam), kecuali jika mereka bertobat dan memperbaiki dirinya, maka Allah maha
pengampun lagi maha penyayang.[2]
Kata
يَرْمُونَ pada mulanya berarti melempar , tetapi yang dimaksud disini
adalah makna majazi, yakni menuduh,
ayat ini tidak menjelaskan tuduhan apa yang dimaksudkan tapi dari konteksnya
dapat dipahami bahwa ia adalah tuduhan berzina. Memang pada zaman jahiliah
sering kali tuduhan semacam ini dilontarkan bila mereka melihat hubungan akrab
antara perempuan dan pria. Mereka juga sering menuduh wanita berzina, jika
melihat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan suami ibu yang melahirkannya.
Kata الْمُحْصَناتِ terambil
dari akar kata hashana yang berarti menghalangi. Benteng dinamai hishn
karena dia menghalangi musuh masuk atau melintasinya. Wanita yang dilukiskan
dalam akar kata ini menurut Al-Quran, dapat diartikan sebagai wanita yang
terpelihara dan terhalangi dari kekejian, karena dia adalah orang yang suci
bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka bukan budak, atau seorang
istri yang mendapat perlindungan dari suaminya[3]. Yang
dimaksud dalam ayat ini menurut Ibn ‘Asyur adalah wanita yang merdeka yang
telah bersuami.
Ulama-
ulama berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian pada ayat diatas. Seperti
terbaca ada tiga sanksi yang dijatuhkan pada pencemar nama baik itu, yaitu :
1. Dicambuk delapan puluh kali
2. Ditolak kesaksiannya sepanjang masa
3. Dinilai sebagai seorang fasik
Mayoritas ulama memahami
pengecualian itu menyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan yang dimaksud adalah
sesudah pencambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi poin 2 dan 3.
Dengan demikian apabila terbukti ia bertobat dan melakukan perbaikan maka
kesaksiannya dapat diterima dan tidak lagi wajar dinamai fasik, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa pengecualian itu hanya tertuju pada yang terakhir disebut,
dengan demikian walaupun dia bertobat dan berbuat baik, kesaksiannya tetap
tidak dapat diterima.
Sanksi pencambukan yang dijelaskan
disini, ada yang memahaminya antara lain, Abu Hanifah – sebagai hak Allah.
Sehingga yang dicemarkan namanya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan
tetap harus dicambuk. Sedangkan imam malik dan Syafi’I menilainya hak yang
dicemarkan namanya, sehingga bila dia memaafkan maka gugurlah pencambukan itu.
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa Hilal bin Umayyah mengadukan kepada Rasul SAW,
bahwa istrinya telah berzina. Lalu Rasul SAW meminta bukti, kalau tidak maka ia
sendiri yang akan dicambuk. Hilal berkata “ya rasul, sekiranya salah seorang
dari kami melihat beserta istrinya terdapat seorang laki-laki , apakah ia mesti
mencari saksi terlebih dahulu?” Nabi SAW tetap meminta bukti atau ia sendiri
yang dicambuk. Berkata Hilal : “demi Allah dzat yang mengutus engkau dengan haq
, sesungguhnya aku benar dan mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang
menghindarkan dari hukuman cambuk”.
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa ketika turun ayat “فَاجْلِدُوهُمْ ثَمانينَ جَلْدَةً وَ
لا
”sampai “شَهَادَةً أَبَدًا ” berkatalah Sa’d bin
Ubadah seorang pimpinan kaum Anshar “Apakah demikian lafadh ayat itu ya Rasul
?”. bersabdalah Rasul : “hai kaum Anshar! Tidakkah kalian dengar ucapan
pemimpin mu itu ?” berkatalah kaun Anshar :”ya Rasul janganlah tuan mencelanya
. sesungguhnya ia orang yang sangat cemburu,tidak seorangpun yang berani
mengawini wanita yang disukai sa’d ” berkatalah sa’d :” ya Rasul sesungguhnya
aku tahu bahwa sesungguhnya ayat ini adalah haqdan ayat ini dari Allah, tapi
aku merasa aneh jika aku mendapatkan wanita jahat yang beradu paha dengan
seorang laki-laki, dan aku tidak boleh memisahkan atau mengusiknya sebelum aku
datangkan empat orang saksi. Demi Allah aki tidak akan dapat mendatangkannya
sebelum mereka selesai memuaskan nafsunya.” Beberapa hari kemudian terjadilah
suatu peristiwa yang dialami oleh Hilal bi Umayyah, ia mengadu kepada Rasul
tentang kejadian yang dialaminnya pada malam hari ketika ia pulang dari
kebunnya. Ia melihat dengan matanya sendiri dan mendengar dengan telinganya
sendiri bahwa istrinya sedang ditiduri dengan laki-laki akan tetapi ia dapat
menahan diri sebelum mengadukannya kepada rasul . pengaduan Hilal tidak membuat
Rasul senang dan bahkan menyulitkannya. Maka berkumpullah kaum anshar
membicarakan peristiwa Hilal tersebut, mereka berkata :”kita telah diuji dengan
apa yang dikatakan oleh sa’d bin ‘ubadah dan sekarang rasul pasti membatalkan
kesaksian hilal dan akan menjilidnya” berkata Hilal: “demi Allah sesungguhnya
aku mengharap agar Allah memberikan jalan keluar bagiku” .
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa ‘Uwaimir dating kepada ‘Ashim bin ‘adi sambil
meminta bantuannya :”tolong tanyakan kepada rasul bagaimana pendapatnya jika
seorang laki-laki mendapati istrinya ditiduri orang lain, apakah ia boleh
membunuhnya, kemudian si pembunuh itu dihukum bunuh atau hukuman apa yang harus
dikenakan kepada penzina tadi?” ‘Ashim menanyakan hal tersebut kepada rasul
akan tetapi rasul mencela pertanyaan itu.ketika bertemu lagi dengan ‘Uwaimir,
ia berkata bahwa masalah yang diajukannya itu tidak membawa kebaikan kepadanya
melainkan dicela oleh rasul.maka berkatalah ‘Uwaimir :”aku akan dating sendiri
dan bertanya langsung kepada rasul”. Bersabda lah rasul : “sesungguhnya telah
turun ayat berkenaan dengan kamu dan istri mu.”
D.
Munasabah
Para ulama tafsir menerangkan bahwa maksud ayat sebelumnya
yaitu An-nur ayat 3 adalah laki-laki dan perempuan yang menjadikan perzinaan
sebagai kebiasaan atau pekerjaan, itulah yang tidak boleh dan tidak layak untuk
menikahi atau dinikahi orang-orang yang beriman. Laki-laki mukmin tidak boleh
dan tidak pantas menikahi mereka, dan perempuan mukminah tidak boleh dan tidak
pantas dinikahi mereka. Adapun laki-laki dan perempuan yang pernah berzina dan
telah bertaubat, kemudian menikah dengan orang mukmin atau mukminah, hal itu
dibenarkan. Apabila sesudah pernikahan masih juga berbuat zina, maka kepada
pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan talak (untuk suami)
atau cerai gugat (untuk istri) dengan alasan zina.
Sedangkan dalam ayat selanjutnya itu menjelaskan
tentang hukuman bagi orang yang menuduh orang berbuat zina tanpa adanya saksi
lain selain dirinya,untuk menjaga kehormatan orang yang dituduh jika tuduhan
tersebut tidak benar maka si penuduh akan dikenai sanksi hukum yaitu dera
sebanyak delapan puluh kali,tidak diterima kesaksiannya dan dianggap fasik.
E.
Tafsir
ayat
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik”
Menuduh berzina
wanita-wanita yang memelihara dirinya dari perbuatan zina. Menurut tafsir
Quraish shihab wanita-wanita yang dimaksud adalah wanita-wanita terpelihara dan
terhalangi dari kekejian karena ia adalah orang yang suci bersih,terhormat,
bukan budak dan dilindungi suaminya. Sementara menurut Ibn Asyur yang dimaksud
wanita dalam ayat ini adalah wanita merdeka yang telah bersuami. Namun menurut
ulama mereka berpendapat sepakat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata
tersebut adalah wanita yang suci bersih, bermoral tinggi, baik telah menikah
maupun belum.jika demikian siapapun wanita terhormat dengan keimananya yang
dicemarkan nama baiknya dengan tuduhan zina, maka pencemarnya dituntut mendatangkan
empat orang saksi atau didera.
“dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi”
Yang menyaksikan perbuatan zina mereka dengan mata kepala
sendiri, menurut tafsir Ibnu katsir orang yang melemparkan tuduhan zina tanpa
bias mendatangkan empat orang saksi yang membenarkan tuduhan tersebut.
“maka deralah mereka”
Bagi masing-masing
dari mereka,jika tidak dapat mendatangkan empat orang saksi. Quraish shihab
menjelaskan maka cambuklah wahai kaum muslimin melalui penguasa kamu mereka
yang menuduh itu.maksudnya disini adalah hukuman yang dijatuhkan pada orang
yang melakukan tuduhan dan tidak terbukti agar dikenai sanksi dan hukuman
dilaksanakan oleh badan-badan yang berhak untuk menghukum, bukan sembarang
orang.
“delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian
terima kesaksian mereka”
Menurut Quraish shihab
hukuman delapan puluh kali dera jika penuduhnya itu adalah orang-orang merdeka,
sedang jika hamba sahaya hanya empat puluh kali dera berdasarkan surat An-nisa
: 25. Dan tidak menerima kesaksian apapun dari mereka.menurut Ibnu katsir
selain si penuduh yang gagal membuktikan kebenaran tuduhannya lewat empat orang
saksi untuk selama-lamanya tidak akan diterima kesaksiannya atau masuk daftar
hitam.
“buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik”
karena mereka telah
melakukan dosa besar.menurut Imam Abu Hanifah sanksi hukuman sebagai hak Allah,
sehingga yang dicemarkan namanya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan
tetap harus dicambuk. Sedangkan menurut imam Malik dan Syafi’I hak yang
dicemarkan namanya jika ia memaafkan orang yang telah menuduhnya maka gugurlah
hukuman tersebut.[5]
“Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu
dan memperbaiki”
amal perbuatan mereka. Ulama-
ulama berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian pada ayat diatas. Mayoritas ulama memahami
pengecualian itu menyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan yang dimaksud adalah
sesudah pencambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi ditolak
kesaksiannya dan dinilai sebagai orang fasik. Dengan demikian apabila terbukti
ia bertobat dan melakukan perbaikan maka kesaksiannya dapat diterima dan tidak
lagi wajar dinamai fasik, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu
hanya tertuju pada yang terakhir disebut, dengan demikian walaupun dia bertobat
dan berbuat baik, kesaksiannya tetap tidak dapat diterima[6].
“maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
terhadap dosa tuduhan
mereka itu kepada mereka, yaitu dengan memberikan inspirasi untuk bertobat
kepada mereka, yang dengan tobat itu terhapuslah julukan fasik dari diri
mereka, kemudian kesaksian mereka dapat diterima kembali. Akan tetapi menurut
suatu pendapat bahwa kesaksian mereka tetap tidak dapat diterima. Pendapat ini
beranggapan bahwa pengertian Istitsna atau pengecualian di sini hanya kembali
kepada kalimat terakhir dari ayat sebelumnya tadi, yaitu, "Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik". Maksudnya hanya status fasik saja yang dihapus
dari mereka, sedangkan ketiadagunaan kesaksiannya masih tetap.
F.
Relevansi
surat An-Nur ayat 4-5 dengan peradilan
Untuk membuktikan benar atau tidaknya
dakwaan pendakwa terhadap terdakwa maka proses pembuktian merupakan perkara
yang amat menentukan. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan jenis pembuktian
yang diakui legalitasnya. Hukum
memberikan saksi adalah fardhu kifayah (QS 2: 283; QS 5:8). Dengan kata lain,
jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka
fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak
ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya
maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak
akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab ia
merupakan perbuatan yang bernilai pahala.
Selain itu, kesaksian harus
didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara
langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:
إذَا عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلاَّ
فَدَعْ
Jika engkau mengetahuinya seperti
(melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka tinggalkanlah (HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya
sahih. Namun, adz-Dzahabi men-dhâ’îf-kannya)
Pihak yang dijadikan saksi juga
bukan sembarang orang, namun hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu
yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting dalam
kesaksian karena ia menentukan integritas seorang saksi dalam menyampaikan
kesaksian. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya.
Dengan kata lain, ia menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat
dirinya—menurut pandangan orang-orang—keluar dari sifat istiqamah[7].
Masyarakat Islam hendaklah
masyarakat yang lebih bersih dari tuduh-menuduh, intip-mengintip dan gunjing.
Sebelum hukuman qadzob atau rajam dijalankan, terlebih dahulu hendaklah
diusahakan menanamkan kembali cita masyarakat Islam, bukan semata-mata dari
segi menjalan hukum, tetapi haruslah dalam segala bidangnya. Kalau cara
berfikir ummat Islam telah dituntun oleh kehendak Ilahi, jaranglah akan
kejadian dilakukan hukum itu. Sebab tidak ada orang beriman yang akan sudi
empat orang mengintip orang berzina. Sedang keterangan dari yang kurang dari
empat orang, terancam pula oleh bukuman dera 80 kali. Di zaman Nabi sendiri
yang dihukum hanyalah yang datang mengaku dan mintadihukum.
G.
Kesimpulan
Dari dua ayat di atas tampak sekali beratnya hukuman tuduhan perbuatan
zina dan apabila tuduhan itu tidak terbukti, maka penuduh dapat hukuman berikut
ini:
·
Hukuman fisik, yaitu dera delapan puluh kali
dera.
·
Hukuman religi, yaitu dicap sebagai orang yang
sangat kurang imannya dan dicap sebagai orang fasik sebagai imbalan atas
kedustaan dan kebohongannya.
·
Hukuman moral, yaitu kewibawaannya di
tengah-tengah masyarakat dicabut dan kesaksiannya ditolak, hingga ia
benar-benar telah bertobat kepada Allah dan merehabilitasi nama baik
perempuan-perempuan yang telah ia tuduh. Jika ia telah melakukan itu semua,
maka hukuman yang ketiga dicabut.
Tuduhan itu tidak benar menurut ukuran Syari’at Islam kecuali bila ada
empat orang saksi yang semuanya memberikan kesaksiaan yang pasti bahwasanya
mereka benar-benar melihat hubungan seks yang dilakukan oleh tertuduh. Jika
kesaksian seperti itu terpenuhi, (maka tuduhan berarti benar), jika tidak, maka
hukuman dilakukan terhadap penuduh demi terpeliharanya kehormatan dan nama baik
dari pelecehan dan pencemaran serta mencegah adanya rasa ragu dan keprihatinan
dari masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Katsir Ibnu,Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir,Surabaya:PT.Bina Ilmu,2004
Quraish
Shihab.M, Tafsir Al-Mishbah(Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Quran), Jakarta: Lentera Hati,2006
Dahlan.A,dkk,
Asbabun Nuzul,Jawa Barat: IKAPI
[1] Yayasan Penyelenggara
Penerjemah,Dep.Agama RI,Al-Quran dan
Terjemahannya,(Jakarta:Proyek Pengadaan Kitab Suci A-Quran,1985),h.544
[2] Ibnu Katsir,Terjemahan Singkat Ibnu Katsir,Surabaya: PT Bina Ilmu ,2004,juz
V,hal.,465
[3]
M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Maraghi(Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Quran),Jakarta:Lentera Hati,2006,volume 5,hal.,287
[4] Ha.A Dahlan,dkk,Asbabul Nuzul,Jawa Barat :
IKAPI,hal.,342
[5] M.Quraish shihab,Op.Cit,hal.,290
[7] Ahmad ad Daur, Ahkamu al-Bayyinat,
(ttp, 1965), hlm.9
0 komentar:
Posting Komentar