Jumat, 07 Desember 2012

hukum agraria


PENDAHULUAN
Hukum Indonesia dalam arti hukum positif bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Menurut pandangan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pembukaan yang berpangkal pada kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Dalam kalimat selanjutnya dalam pembukaan itu menunjukkan konsep lebih lanjut dalam garis besar dari isi kemerdekaan, yang menurut paham Indonesia menjadi sumber materil UUD 1945. hukum dasar yang dimaksud adalah yang merupakan wujud rumusan dari filsafat Pancasila. Hukum dasar tersebut merupakan penjabaran dari Rechsidee. Sumbernya Rechsidee itu ialah nilai-nilai budaya Indonesia.
Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hukum Tanah Nasional tunggal yang berdasarkan Hukum Adat. Tadinya pada Rancangan UUPA susunan Soenarjo tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar Utama Pembangunan Tanah yang Baru. Namun dalam UUPA telah menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal pada hukum Adat. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah.


PEMBAHASAN
1.      Pengertian dan Kedudukan Hukum Adat dalam UUPA
Hukum adat adalah hukumnya masyarakat yang masih sederhana, dengan lingkup personal dan teritorial yang terbatas. Hukum Agraria Nasional dimaksudkan sebagai hukumnya masyarakat modern, dengan lingkup personal yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Sehingga penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian kepentingan masyarakat dalam koteks negara modern dan dunia International.
Sesuai dengan fungsi hukum adat sebagai pelengkap hukum tertulis, maka berdasarkan pasal 5 dan penjelasan III (1) UUPA maka hukum pelengkap itu perlu mengalami pembersihan (sanering, retool). Lebih dulu.
Ketentuan UUPA yang mengatur kedudukan hukum adat, selain ketentuan hukum tersebut diatas dapat dilihat dalam bagian lain sebagai berikut :
a.       Konsiderans Bagian Berpendapat Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan diatas perlu adanya hukum Agraria nasional, yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
b.       Pasal 2 ayat (4) : Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasai kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
c.        Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
d.      Penjelasan Pasal 5 : Penegasan hukum adat dijadikan dasar dari hukum Agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Berdasrkan ketentuan-ketentuan hukum tersebut diatas, UUPA memberikan kedudukan sebagai posisi dasar. Karena itu, hukum adat berlaku dalam kerangka UUPA sebagai kesatuan tidak terlepas dari UUPA itu sendiri. Dengan perkataan lain, pasal-pasal dalam UUPA merupakan kristalisasi dari asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat.
Pembentukan hukum Agraria nasional mempunyai 2 (dua) kedudukan, yaitu :
1.      “Hukum adat sebagai dasar utama”. Hukum adat sebagai dasar utama hukum Agraria nasional disimpulkan dari Konsiderans UUPA di bawah perkataan “Berpendapat” dan dalam Penjelasan Umum III No. 1.
2.      “Hukum adat sebagai pelngkap”. Hukum adat sebagai pelengkap mempunyai arti, yaitu bahwa pembentukan hukum nasional yang mewujudkan kesatuan hukum, kepastian hukum, perlindungan hukum kepada pemegang hak memerlukan suatu proses yang memakan waktu. Selama proses itu belum selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap, maka memerlukan pelengkap agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Pemberian kedudukan hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA pada hakekatya adalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi hukum adat yaitu :
1.      Pengakuan dan penegasan sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat :
2.      Pengakuan terhadap Hukum-hukum adat merupakan posisi dasar berlakunya hukum adat.
3.      Hukum adat yang dimaksudkan UUPA adalah hukum adat hukum aslinya golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan atau prinsip nasionalitas, Pro kepentingan negara, Pro kepentingan bangsa, Pro Pancasila tidak bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundangan yang lebih tinggi dan ditambah unsur agama.
4.      Karena itu memberlakukan hukum adat dengan disertai dengan persyaratan, bahwa hukum adat itu tidak boleh bertentangan dengan :
·         Kepentingan nasionalisme dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
·         Sosialisme Indonesia
·         Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA
·         Peraturan-peraturan Perundangan lainnya.
·         Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
·         Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya hukum adat tidaklah mengurangi arti ketentuan pokok dalam UUPA, bahwa hukum Agraria memakai hukum adat sebagai dasar dan sumber utama pembangunannya.
Pengakuan hukum adat merupakan perlindungan hukum masyarakat adat. Pengakuan hukum adat sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UUPA merupakan suatu bentuk keragu-raguan, terutama mengenai kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan masyarakat modern. Hal ini terutama dilontarkan oleh penganut paham kodifikasi yang intinya hukum adat tidak menjamin kepastian hukum.

2.      Konsepsi dan Sistem Hukum Adat
a.       Konsepsi Hukum Adat
Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Manifestasi lebih lanjut pada konsepsi ini ialah dengan adanya Tanah Ulayat yang memiliki unsur kebersamaan dan terdapat fungsinya untuk kepentingan bersama. Dan dengan demikian maka tanah ulayat, selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah yang termasuk dalam ranah hukum perdata, juga mengandung tugas mengelola yang masuk dalam hukum publik. Hak Ulayat ini memungkinkan adanya hak Milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat.
b.      Sistem Hukum Adat.
Sistem hak-hak penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat ternyata membentuk hirarki yang biasanya terjadi pada Tanah Ulayat adalah : (1) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, (2) Hak kepada Adat dan para tetua adat, (3) hak atas tanah.

3.      Hubungan Fungsional Antara Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional
a.       Arti Hubungan Fungsional
Hukum adat dalam konsideran UUPA yang diakui sebagai dasar, ternyata tidak berfungsi sebgaimana yang diharapkan. Seperti halnya dalam masalah gadai, Gadai yang seyogyanya dalam masyarakat hukum adat dilakukan di hadapan Kepala Desa (das solen), namun sekarang (das sein) telah diganti oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hukum Adat sebagai Sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Sumber Utama Hukum Adat yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah nasional adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya. Konsepsi mendasar sebagaimana pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan horizontal.
Sumber-sumber Lain dalam Pembangunan Hukum Nasional UUPA tidak menutup kesempatan, untuk lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum adat seperti lembaga-lembaga dari hukum asing sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendaftaran Tanah dengan melalui PPAT, adanya Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan merupakan lembaga hukum yang tidak dikenal dalam masyarakat Hukum adat tetapi diakui UUPA. Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis, Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), menunjukan fungsi Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Maka jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah Hukum Adat setempat. Hukum adat yang telah terkontaminasi feodalistik maupun kapitalistik dalam konteks pelengkap Hukum Tanah Positif dalam penerapannya harus dibersihkan terlebih dahulu dari ketentuan hukum asing. Sehingga dalam praktik yang berwenang melakukan pembersihan atas Hukum Adat ini adalah Hakim serta Penguasa Legislatif. Tidak boleh bertentangan dengan Kepentingan nasional dan Negara. Hukum Adat sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional Negara, sehingga perlu adanya pembinaan dengan menguji hukum adat agar tidak bertentangan. Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia
Perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai sosialisme Indonesia, dalam hal ini menghadapi hal-hal kongrit dalam masyarakat maka keinginnan dan kesadaran hukum masyarakatlah yang merupakan pedoman. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA, Suatu contoh bahwa di Batak misalnya yang tidak memberikan kesempatan bagi wanita untuk memiliki tanah karena patrilineal, sedangkan UUPA mengatur bahwa tiap-tiap warganegara memiliki hak yang sama. Pertentangan tersebut yang berlaku di Hukum Adat Batak dikesampingkan oleh UUPA sehingga di Batak memberi kesempatan untuk wanita memiliki sebidang tanah. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, Jadi peraturan perundang-undangan bisa mengenyampingkan hukum adat yang berlaku asalkan dinyatakan demikian. Norma Hukum Kosong inilah yang sering digunakan oleh penguasa untuk mengebiri keberadaan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat sebagai bagian dari Hukum Tanah Nasional
Hukum adat harus tetap menjadi acuan dalam pembentukan hukum tanah selanjutnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyerapan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional semakin berkurang untuk dijadikan dasar Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat
Hukum adat yang lahir dari Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak dianggap sebagai hukum adat.





KESIMPULAN
Hukum adat adalah hukumnya masyarakat yang masih sederhana, dengan lingkup personal dan teritorial yang terbatas. Hukum Agraria Nasional dimaksudkan sebagai hukumnya masyarakat modern, dengan lingkup personal yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Sehingga penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian kepentingan masyarakat dalam koteks negara modern dan dunia International.
Hukum Adat dalam UUPA, Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA, Penjelasan Umum angka III (1), Pasal 5, Penjelasan Pasal 5, Penjelasan Pasal 16, Pasal 56, dan secara tidak langsung juga terdapat pada Pasal 58 UUPA.










DAFTAR PUSTAKA
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asa-Asas Hukum Adat. Cet-XIV. 1995. Jakarta : PT Gunung Agung.
I Gede A.B.Wiranata: Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa.2005. Jakarta: Citra Aditya Bakti.













MAKALAH
Hukum Agraria
(Hukum Adat dalam UUPA)


Dosen pembimbing: Drs. Zainal Arifin,S.H,MH.
Disusun oleh: M. Gufron 10620
Nurafni 1062018
       Tri Gustian PS 1062085

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (PA)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
2012




kaidah fikih


PENDAHULUAN
Hakikat Qawaid Fiqhiyah. Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif  lama.
Dalam menerapkan kaidah fikih yang perlu diperhatikan agar tepat penggunaanya yang pertama adalah:
1.      Kehati-hatian dalam penggunaanya
2.      Ketelitian dalam mengamati masalah-masalah yang ada diluar kaidah yang digunakan dengan kata lain meneliti masalah-masalah kekecualian dari kaidah tersebut.
3.      Memerhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan berhubungan dengan kaidah lain yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang penerapan kaidah fikih tentang kehati-hatian dalam penerapan kaidah fikih dan meneliti masalah-masalah fikih yang merupakan kekecualian yang ada diluar kaidah fikih serta korelasi antara kaidah fikih.


PEMBAHASAN
Penerapan kaidah fikih
A.    Kehati-hatian dalam menerapkan kaidah
Kehati-hatian dalam  menggunakan kaidah diperlukan agar antar masalah yang ingin dipecahkan dengan kaidah yang digunakan bisa tepat. Oleh karena itu masalah harus diteliti terlebih dahulu setidaknya dalam lima aspek yaitu[1]:
1.      Ruang lingkup masalah yang dihadapi,apakah masalah tersebut dalam bidang ibadah, munakahat, muamalah, jinayah, syasah, atau peradilan, atau bisa juga menyangkut semua bidang terebut.
2.      Apakah masalah yang dihadapi tersebut substansinya perubahan hukum atau bukan.
3.      Apakah measalah tersebut berhubungan dengan masalah perioritas kerena adanya benturan atau pertentangan kepentingan,sehingga diperlukan pilihan-pilihan mana yang akan diambil.
4.      Apakah masalah tersebut ruang lingkupnya sangat kecil yang hanya berhubungan dengan bab-bab tertentu dari bidang hukum islam sehingga cukup digunakan al-qawa’id al-tafshiliyah atau dhabith atau mulhaq-nya.
5.      Hubungan masalah yang akan dipecahkan tersebut dengan teori-teori fiqih dalam arti teori materi fikih, misalanya apakah masalah tersebut berhubungan dengan teori-teori fiqh tentang akad (transaksi)atau tentang kepemilikan, tentang subjek hukum baik pribadi atau badan hukum tentang hak dan lain-lain.
Contoh fatwa dewan syariah nasional (DSN) No.19/DSN MUI/IX/2000 tentang al-qardh yaitu suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati. Dalam fatwa tersebut setelah menggunakan dasar-dasar al-quran dan hadits juga menggunakan kaidah fikih yang memang ruang lingkupnya khusus tentang utang piutang, yaitu :


setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang, muqridh) adalah riba
Dari uraian diatas mengandung dua hal yaitu, pertama meneliti dan mengidentifikasi masalah sebagai pertimbangan keadaan dan meneliti ayat-ayat, hadits dan kaidah fikih sebagai pertimbangan hukum.
            Setelah menggunakan kaidah fikih tersebut, menghasilkan suatu hukum ijtihadiyah atau hukum fikih. Kemudian hasil tersebut harus diukur oleh dalil-dalil killi baik berupa al-quran, hadits, semangad ajaran, dan kaidah-kaidah yang asasi. Selain itu, hasil tersebut tidak boleh bertentangan dengan dasar dan prinsip hukum Islam.
            Apabila setelah diukur dari sisi kesesuaiannya dengan dalil-dalil killi dan tidak bertentangan dengan dasar dan prinsip hukum Islam, maka masalah tersebut telah terselesaikan dengan hasil ijtihad.


Ilustrasi proses dalam kehati-hatian penerapan kaidah :
Hasil akhir
 
masalah
 
Alat-alat analisis
 
hasilnya
 
penilaian
 
                                                                 
 







B.     Meneliti masalah-masalah fiqih yang merupakan kekecualian[2] 
Dalam menerapkan kaidah fikih harus memperhatikan masalah-masalah furu’ atau materi-materi fikih yang ada diluar kaidah fikih yang digunakan. Karena setiap kaidah fikih memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. Dengan demikin kita akan terhindar dari kesalahan memasukan masalah yang akan dijawab atau dipecahkan kedalam kaidah, yang sesungguhnya masalah tersebut merupakan kekecualian dari kaidah yang digunakan.
Makin luas ruang lingkup suatu kaidah maka makin sedikit kekecualiannya, sedangkan makin sempit ruang lingkup suatu kaidah maka makin banyak kekecualiannya. Disinilah pentingnya membagi kaidah fikih kedalam berbagai ruang lingkup secara berjenjang dari yang paling luas sampai kepada yang paling sempit. Muhammad al-Ruki menjelaskan kaidah fikih secara berjenjang dengan memeliti kitab al-Isyraf ‘ala masa’il al-khilaf, dalam kitab tersebut terdapat 81 kaidah fikih yang terdiri dari kaidah asasi dan cabang-cabangnya dengan 53 kaidah, kemudian kaidah dibidang fikih ibadah yang terdiri dari 8 kaidah, dibidang muamalah 15 kaidah, dan bidang lainnya terdiri dari 5 kaidah.
Imam Tajjuddin al-subki dalam kitabnya al-Asybah wa al nazhair, membagi kaidah secara berjenjang mulai dari kaidah asasi yang lima kemudian kaidah-kaidah yang umum yang terdiri dari 27 kaidah, selanjutnya kaidah khusus yang terdiri dari 185 kaidah yang dibagi dalam fikih ibadah, muamalah, pengakuan, peradilan, dan munakahat.
Kaidah fikih dalam bidang hukum tertentu akan mempermudah kita untuk memecahkan masalah yang dihadapi contohnya apabila kita menemukan masalah dalam bidang muamalah maka yang harus kita lakukan adalah
1.      cari dahulu kaidah fikih dalam bidang tersebut apabila tidak ditemukan
2.       cari pada kaidah yang lebih umum, apabila tidak ditemukan juga
3.      Diperlukan memunculkan kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-kaidah yang ada.
4.      Atau kembali kepada kaidah “meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.
Langkah-langkah ini perlu diambil karena untuk mengetahui kekecualian dari kaidah dan menghindari resiko kesalahan menggunakan kaidah yang terlalu besar untuk masalah yang ruang lingkupnya kecil atau sebaliknya.
Contoh yang banyak dikeritisi adalah kaidah :

suatu hasil ijtihad tidak bisa dihapuskan oleh ijtihad lain
Diantara kritik terhadap kaidah ini adalah bisa saja terjadi hasil ijtihad dihapus oleh ijtihad lain ynag dianggap lebih benar, seperti qaul qadim dan qaul jadid Imam al-Syafi’i. selain itu banyak ijtihad lain yang dihapus oleh ijtihad lainnya pada kenyataanya.
Baik Imam jalaluddin al-suyuti dari mashab al-Syafi’I maupun Ibnu Nuzaim dari mashab Hanafi, memasukan kaidah tersebut kedalam kaidah kulliyah yang bisa dikembalikan kepadanya banyak sekali masalah-masalah fikih, artinya tidak termasuk kedalam kaidah yang diperselisihkan, tetapi termasuk kedalam kaidah yang disepakati oleh ulama-ulama dibidang fikih.
Pokok masalahnya terletak pada kesalahan memahami masalah tersebut. Yang dimaksud kaidah diatas adalah “hasil ijtihad yang telah lalu tidak dihapus hukumnya dengan hasil ijtihad yang dating kemudian” hal ini berarti adalah sah segala perbuatan yang telah dilakuakn dengan dasar ijtihad yang pertama, tetapi kemudian dengan pentarjihan, muncul sukum hasil ijtihad yang baru dan diterapkan. Dengan demikian hasil ijtihad yang lalu berlaku pada masa yang lalu dan ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang sampai adanya ijtihad yang baru lagi, artinya pula hasil ijtihad yang sekarang tidak berlaku surut kepada masa yang lalu, sehingga menghapuskan hasil ijtihad yang telah lalu.
C.     Korelasi Antara Kaidah Fikih[3]
Dalam penerapan kaidah fikih perlu juga diperhatikan keseimbangan antara satu kaidah yang digunakan untuk memecah masalah dengan kaidah lain yang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya.
Sebagai salah satu contoh kecil misalnya, seseorang meminjam uang dengan dijanjikan pada waktu dibayar harus ada tambahanya, atau meminjam dengan renternir. Pendekatan kaidah fikih dalam kasus ini cukup dengan menggunakan kaidah tafshiliyah, yaitu:

“setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat(bagi yang mengutangkan) adalah riba”
Dengan menggunakan kaidah tersebut jelas bahwa meminjam uang dari renternir hukumnya haram karena termasuk riba. Kaidah tersebut jelas pula ada dalam bidang fikih muamalah dan saling berhubungan, tetapi bukan dari sisi kebolehannya muamalah, melaikan dari sisi ada bukti keharamannya yaitu riba, yaitu kaidah :

“hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkanya”
Jadi haramnya meminjam dari renternir merupakan kekecualian dari hukum asal kerena ada bukti tentang riba. Kaidah diatas termasuk kaidah yang khusus. Apabila kaidah tersebut dihubungkan dengan kaidah yang lebih luas maka kaidah tersebut berhubungan dengan

“setiap syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”
Renternir mensyaratkan riba, maka syarat tersebut adalah batal. Bagi orang yang mengatakan bahwa riba itu ada untungnya atau manfaatnya, tetapi jelas riba diharamkan yang berarti mafsadah bagi kehidupan, hal ini terkena oleh kaidah:

“menolak mafsadah harus didahulukan dari pada meraih maslahat”
Kedua kaidah tersebut apabila dihubungkan dengan kaidah yang asasi merupakan bagian daari kaidah:

“segala kemudaratan harus dihilangkan”
Terakhir, kaidah-kaidah tersebut berhubungn dengan kaidah inti, yaitu:

“meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Maka dalam contoh kasus tersebut, perbuatanya adalah haramkarena membawa mafsadah sedangkan mafsadah harus ditolak. Maka jelas terlihat keseimbangan satu kaidah dengan kaidah lain. Hal ini berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah cukup akurat digunakan dalam memecahkan masalah yang ada dimasyarakat.



KESIMPULAN
Kehati-hatian dalam menerapkan kaidah dalam suatu masalah harus diteliti dahulu dalam lima aspek
1.      Ruang lingkup masalah yang dihadapi
2.      Substansi dari masalah tersebut
3.      Apakah masalah tersebut berhubungan dengan masalah prioritas
4.      Apakah masalah tersebut ruang lingkupnya sangat kecil
5.      Hubunganmasalah yang akan dipecahkan tersebut dengan teori-teori fikih.
Dalam menerapkan kaidah fikih harus memperhatikan masalah-masalah furu’ atau materi-materi fikih yang ada diluar kaidah fikih yang digunakan. Karena setiap kaidah fikih memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. apabila kita menemukan masalah maka yang harus kita lakukan adalah:
1.      cari dahulu kaidah fikih dalam bidang tersebut apabila tidak ditemukan
2.       cari pada kaidah yang lebih umum, apabila tidak ditemukan juga
3.      Diperlukan memunculkan kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-kaidah yang ada.
4.      Atau kembali kepada kaidah “meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.


DAFTAR PUSTAKA
Djazuli A, Kaidah-kaidah fikih, Jakarta: Kencana,2010.















MAKALAH
Kaidah fikih
(kehati-hatian dalam menerapkan kaidah dan meneliti masalah fikih yang merupakan kekecualian serta korelasi antara kaidah fikih)
logo2
Dosen pembimbing: Oloan Muda,LC.MA.
Disusun oleh:
Ansi                     1062015
Nurafni                1062018
Umar aliansyah             1062036

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (PA)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
2012




[1] A.Djazuli,Kaidah-kaidah Fikih,Jakarta:Kencana,2010,.h.,183.
[2] Ibid.,h.187.
[3] Ibid.,h 190.