MAKALAH
Hak
Asuh Anak dan Kekuasaan Orangtua Pasca Perceraian
(diajukan sebagai tugas pengganti UTS mata kuliah
HPII)
Dosen pembimbing: Busman Edyar, MA
NURAFNI
1062018
JURUSAN
SYARIAH
PROGRAM
STUDI PERADILAN AGAMA (PA)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan
adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam
kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan
tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan
perceraian. Saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan
ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu
perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada
akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas
anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dari hubungan dengan
orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak
dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang pokok perkawinan No.1 tahun
1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua. Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi
tanggung jawab kedua orang tua dalam hal ini meliputi masalah ekonomi,
pendidikan dan segala hal mengenai kebutuhan pokok.
Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi
perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa lebih berhak untuk mengasuh
anak-anaknya. Entah itu ibunya, karena merasa ia yang mengandung dan
melahirkan. Atau ayahnya, karena merasa ia yang membiayai. Pada umumnya
dalam praktek di
pengadilan, anak yang
berumur di bawah sepuluh
tahun, pengasuhannya atau
perwaliannya diserahkan kepada
ibunya, bagi anak yang
berumur di atas
sepuluh tahun perwaliannya
terserah kepada pilihan si
anak sendiri, apakah
dia akan ikut
kepada ibunya ataukah memilih ikut
pada bapaknya dalam
hal perwalian bagi
si anak. Apabila
hal yang demikian ini
terjadi maka Putusan
Pengadilanlah yang
menentukan siapakah yang lebih
berhak menjadi wali
dari si anak
tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarka
letar belakang diatas,maka dapat ditarik suatu permasalahan yang muncul sebagai
sebuah persoalan yaitu:
1. Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI?
2. Siapakah yang lebih berhak mengasuh anak
setalah orang tua mereka bercerai, Ayah atau Ibu?
3. Apa Dampak perceraian terhadap anak?
C.
Tujuan
Tujuan dari
pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas UTS, juga bertujuan untuk
pembelajaran dalam hal akibat Hukum yang timbul pasca perceraian dan bagaimana
hak asuh dan kekuasaan orang tua terhadap anak dari pernikahan yang gagal
akibat perceraian serta dampak perceraian itu sendiri terhadap anak. Diharapkan
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca dalam hal hak asuh dan
kekuasaan orang tua pasca perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak
Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI.
Perkawinan adalah suatu akad antara laki-laki dan
perempuan yang dengan akad tersebut laki-laki dan perempuan dihalalkan untuk
berhubungan suami-istri dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami-istri
tersebut. Pada perinsipnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Sedangkan perceraian adalah putusnya ikatan
perkawinan antara suami-istri. Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang, ini
berdasarkan Hadits Nabi SAW
عَنِ اِبْنِ
عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم أَبْغَضُ اَلْحَلَالِ عِنْدَ
اَللَّهِ اَلطَّلَاقُ
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah ialah cerai."
Dalam hadits tersebut mengisyaratkan bahwa perceraian merupakan
alternative terakhir, yang boleh ditempu manakala kehidupan rumah tangga tidak
lagi dapat dipertahankan.[2]
Dalam pasal 41 Undang-Undang
perkawinan tahun 1974 menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya
perkawinan adalah:
1. ibu atau ayah tetap memiliki
kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan
mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada
siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan diberikan;
2. Ayah yang bertanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila
bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas isteri .
Dalam
Undang-Undang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan hak asuh anak
pasca cerai jatuh pada ayah atau ibu, akan tetapi terkait dengan hal ini Kompilasi
Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci yaitu :
1. pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
2. Pemeliharaan anak yang
sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3. Biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.
Dari penjelasan ini bisa diambil kesimpulan
bahwa hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ibu, jika anak tersebut belum
berumur 12 tahun.Hak asuh anak yang terdapat
dalam pasal 41 UU Perkawinan dan pasal 105 KHI dapat dipahami bahwa hak
asuh anak jatuh pada ibu, sedangkan biaya pendidikan dan pemeliharaan yang
dibutuhkan oleh anak tetap menjadi tanggung jawab ayah[3].
Selanjutnya
dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan
bahwa salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama tentang pencabutan kuasa hak
asuh anak, jika terdapat alasan kuat mengenai hal tersebut. Dalam hubungannya
dengan gugatan hak asuh anak, jika dilihat dari sisi kepentingan
penggugat sekurangnya terdapat dua kemungkinan bentuk tuntutan yaitu:
Pertama : si penggugat berkepentingan hanya
untuk menetapkan menurut hukum bahwa hak pemeliharaan atas anak tersebut berada
dalam penguasannya sedangkan faktanya anak tersebut memang sudah berada dalam
pemeliharaan dan penguasaannya. Tuntutan ini diajukan dengan alasan adanya
indikasi kuat bahwa pihak tergugat ingin merebut si anak sedangkan tergugat
tidak mampu memberikan jaminan bagi perkembangan yang terbaik bagi si anak. Hal
ini dimaksudkan untuk menjaga agar pihak tergugat tidak bisa mengambil anaknya
begitu saja untuk dikuasai.
Kedua,
penggugat disamping berkepentingan untuk menetapkan secara hukum atas anaknya
berada dalam pemeliharaan dan penguasaannya juga berkpentingan untuk memperoleh
anaknya kembali ke dalam pemeliharaannya yang faktanya selama ini telah
dikuasai oleh tergugat.
B.
Hak
Asuh Anak Pasca Perceraian
Istilah “hak asuh anak” secara hukum
sesungguhnya merujuk pada pengertian kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan, untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan,
pendidikan, dan kesehatan,karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya
tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. Sedangkan pengertian
istilah “kuasa asuh” adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina,
melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan
kemampuan, bakat, serta minatnya. Dari pengertian istilah diatas, kiranya
memang sulit untuk memahami dan membedakan kedua istilah tersebut tetapi hal
ini perlu dijelaskan karena kalau kita bicara hak asuh anak, itu artinya kita
sedang berbicara tentang anak terlantar dalam pengertian hak seorang anak yang
tidak memiliki jaminan untuk tumbuh
kembang secara wajar karena orang tuanya tidak mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis. Dalam perceraian, yang kerap menjadi masalah bukan “perebutan hak asuh anak” tetapi masalah “perebutan kuasa asuh anak”.
kembang secara wajar karena orang tuanya tidak mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis. Dalam perceraian, yang kerap menjadi masalah bukan “perebutan hak asuh anak” tetapi masalah “perebutan kuasa asuh anak”.
a. Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
“Seorang
wanita berkata, “Ya Rasul Allah,sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang
telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan
haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan
hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. :
“Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang
lain).[4]
Demikian halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim
dan bermaksud mengambil Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya.
Keduanya pun mengadukan masalah ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin
saat itu. Abu Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan,
dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashimdari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.[5] Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban member nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali haid)[6]. serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika anak belum mencapai fase tamyiz, maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya misalnya karena kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak, maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mampu untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mampu dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal,mampu mendidik,terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami.
dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashimdari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.[5] Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban member nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali haid)[6]. serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika anak belum mencapai fase tamyiz, maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya misalnya karena kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak, maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mampu untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mampu dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal,mampu mendidik,terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami.
b. Siapa yang lebih berhak
Saat sedang mengurus hak asuh
setelah terjadi perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa lebih
berhak untuk mengasuh anak-anaknya. Entah itu ibunya, karena merasa ia yang
mengandung dan melahirkan.Atau ayahnya, karena merasa ia yang membiayai. Tidak
ada pihak yang bisa merasa lebih berhak daripada pihak lain. Hak pengasuhan
anak sebenarnya dapat diberikan kepada pihak mana pun, Baik itu ayah atau pun
ibu.UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan anak yang belum mencapai 18
tahun atau belum melangsungkan perkawinan, berada di bawah kekuasaan orang
tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Artinya, kalau
pengadilan memutuskan bahwa hak pengasuhan ada pada ibu, maka ibunyalah yang
akan mengasuh. Bila pengadilan memutuskan sebaliknya, berarti ayahnya yang akan
mengasuh. Selanjutnya, bila anak itu telah berusia 18 tahun, barulah ia boleh
memilih ingin ikut ayah atau ibunya, karena ia sudah dianggap dewasa,
pengadilan yang dimaksud di sini adalah pengadilan agama untuk yang beragama
Islam dan pengadilan negeri untuk pemeluk agama lain. Khusus untuk umat Muslim,
pengaturan hak asuh anak, juga diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Agama RI
No. 154 Tahun 1991. Dalam surat itu dinyatakan bahwa hak asuh anak yang berusia
di bawah 12 tahun sebaiknya diberikan kepada ibunya. Jadi, di pengadilan agama,
biasanya, hak asuh anak yang belum berusia 12 tahun diserahkan kepada ibunya.
Ketentuan ini sifatnya tidak mutlak. Pada kondisi tertentu, pengasuhan anak
yang berusia 3 tahun pun bisa diberikan kepada ayahnya. Jika satu pihak
dianggap tak layak mengasuh, hak pengasuhan pun diberikan kepada pihak lain.
“Yang dimaksud tak layak adalah, kondisi saat ayah atau ibu dipandang mungkin
menelantarkan anak. Misalnya,ayahnya
mungkin dianggap berbahaya karena sewaktu-waktu bisa melakukan pembunuhan atau
tindak kekerasan,contoh lain seperti salah satu pihak sakit berkepanjangan atau
tidak memiliki pekerjaan yang jelas.
c. Apakah hak asuh anak boleh dialihkan
Pihak pengadilan bisa
mencabut hak pengasuhannya. Pihak yang tidak mendapatkan hak pengasuhan bisa
mengajukan gugatan dan menyertakan bukti bahwa pihak yang mengasuh tidak bisa
berperan sebagai ayah atau ibu yang baik. Caranya, ia harus mengajukan saksi
yang tepat, bersifat independen dan bisa memberikan keterangan obyektif. “Jika
saksi memiliki hubungan darah dengan penggugat atau orang yang digaji oleh
penggugat, kesaksiannya kemungkinan dianggap bersifat memihak.”
Hak pengasuhan anak ternyata bisa langsung dialihkan, tanpa
melalui proses hukum lagi, bila orang tua memutuskan untuk membuat kesepakatan
baru. Misalnya, hak pengasuhan yang ditetapkan pengadilan jatuh pada ibu, bisa
saja dialihkan kepada ayah, bila ayah dan ibu berkompromi dan memutuskan anak
itu lebih baik diasuh ayahnya. Peralihan hak asuh seperti ini sama sekali tidak
melanggar hukum. Pengadilan juga tidak akan menjatuhkan sanksi hukum.Bagaimana
jika anak menolak untuk tinggal bersama pihak yang telah ditentukan oleh
pengadilan. Pada dasarnya tidak ada pihak yang bisa memaksakan kehendak ataupun
mengaku melakukan kehendaknya demi kepentingan anak. “Jika anak itu tidak suka,
ia memang tak boleh dipaksa. Namun, pengadilan akan melihat terlebih dahulu,
kenapa anak itu menolak Apakah anak itu
benar menolak dengan alasan yang jelas atau apakah dia berada di bawah ancaman
pihak lain. Keputusannya mutlak ada pada pengadilan,” Apakah seorang wanita
yang pernah berselingkuh tak akan bisa mendapatkan hak pengasuhan,
perselingkuhan tidak bisa dijadikan tolok ukur. Ibu yang berselingkuh bukan
berarti tidak bisa berperan sebagai ibu yang baik.Perselingkuhan itu belum
tentu bisa dibuktikan. Seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan
tetap pun tetap bisa mendapat hak pengasuhan, karena kewajiban untuk membiayai
anak berada di pundak sang ayah.Perseteruan setelah putusan hak asuh anak Jika
hukum sudah jelas dan putusan pengadilan adalah mutlak, mengapa masih saja
sering terjadi perseteruan. Keributan yang terjadi ternyata bukan dikarenakan
oleh perebutan hak asuh, melainkan tentang kompromi kunjungan terhadap anak.
Misalnya ada yang tidak memperbolehkan mantan pasangannya bertemu anaknya,
karena alasan tertentu. “Satu pihak yang tidak diberi hak pengasuhan memang
mungkin saja tidak diperbolehkan mengunjungi anak. Salah satu alasannya mungkin
pihak itu dianggap bisa membahayakan keselamatan jiwa anak. Tapi, hal itu harus
diputuskan oleh pengadilan.”
Pihak yang
dilarang bertemu mencoba menemui atau menjemput anaknya tanpa ijin. Dari
sinilah muncul istilah orang tua menculik anak sendiri. Tindakan pengambilan
anak, tanpa seijin pihak yang memiliki hak asuh, tidak dapat dikategorikan ke
dalam penculikan.“Menurut hukum, tidak ada orang yang bisa menculik anak
kandungnya sendiri.” Jadi, karena kejadian itu tidak melanggar hukum.
Sebaliknya pihak yang dituduh sebagai penculik pun tidak bisa dikenakan sanksi
hukum,
kecuali, jika pengambilan anak itu dilakukan dengan kekerasan.“Hak asuh yang dimaksudkan dalam hukum adalah hak untuk mengasuh, bukan hak untuk menguasai. “Ketika hak asuh diberikan kepada salah satu pihak, bukan berarti pihak tersebut boleh menguasai anaknya dan tidak memperbolehkan pihak lain menemui anak itu.
kecuali, jika pengambilan anak itu dilakukan dengan kekerasan.“Hak asuh yang dimaksudkan dalam hukum adalah hak untuk mengasuh, bukan hak untuk menguasai. “Ketika hak asuh diberikan kepada salah satu pihak, bukan berarti pihak tersebut boleh menguasai anaknya dan tidak memperbolehkan pihak lain menemui anak itu.
pihak ayah tetap berkewajiban untuk membiayai anak tersebut.
Pengadilan pun bisa memutuskan jumlah rupiah yang harus dibayarkan oleh pihak
ayah. Konsepsi perlindungan anak yang sebagaimana yang diatur UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak adalah konsepsi perlindungan anak yang utuh,
menyeluruh, dan komprehensif asas-asas :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d.penghargaan terhadap pendapat anak.
Jadi dalam perkara hukum yang menyangkut kepentingan anak,
Hakim sebelum memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dapat meminta
pendapat dari si anak. Hal ini juga tidak terlepas dari kewajiban Hakim untuk
memutus suatu perkara dengan seadil-adilnya dengan menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasakeadilan[7].
Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Anak menyatakan "Setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan" Berdasarkan ketentuan pasal
10 UU No. 23 Tahun 2002 diatas maka jelas dan tegas Hakim dapat meminta
pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”.tentunya Hakim
harus mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia si anak. Aturan dasar dan prinsip-prinsip
dalam pembagian hak asuh anak, dalam kasus perceraian yang paling umum terjadi Misalnya,
pembagian waktu asuh dan prosedurnya Dalam memutuskan “kuasa asuh anak” dalam
perkara perceraian, aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 49 UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan :
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan
saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal :
a. la sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan
buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih
tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut
Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :Akibat putusnya perkawinan karena perceraianialah : (a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :Akibat putusnya perkawinan karena perceraianialah : (a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa
asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan
kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan Pasal 31 ayat (1) UU No. 23
Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak : Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu. Pengajuan permohonan kuasa asuh anak dapat diajukan sekaligus dalam permohonan cerai atau diajukan terpisah dengan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri/ Agama. Perlu diingat, berdasarkan aturan hukumnya, Penetapan pengadilan tentang kuasa
asuh anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya. Hal ini sebagaimana dimaksud ketentuan pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut, Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :
Perlindungan Anak : Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu. Pengajuan permohonan kuasa asuh anak dapat diajukan sekaligus dalam permohonan cerai atau diajukan terpisah dengan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri/ Agama. Perlu diingat, berdasarkan aturan hukumnya, Penetapan pengadilan tentang kuasa
asuh anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya. Hal ini sebagaimana dimaksud ketentuan pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut, Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :
a.
tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
b.
tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya;
c.
batas waktu pencabutan Oleh karena penetapan pengadilan tidak memutus hubungan
darah antara anak dan orang tua kandungnya
dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tua kepada si anak maka tidak ada
alasan salah satu orang tua menolak kunjungan orang tua yang lain untuk bertemu
dengan si anak.
Praktek hukumnya, pembagian waktu berkunjung
atau waktu bercengkrama orang tua dan si anak dilakukan berdasarkan kesepakatan
diantara kedua orang tua Dalam memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh
anak” dalam perkara perceraian, sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan
tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang berhak, Ayah atau Ibu. Jadi tidak
heran banyak permasalahan dalam kasus “perebutan kuasa asuh anak”, baik didalam
persidangan maupun diluar persidangan. Kalaupun ada, satu-satunya Aturan yang jelas
dan tegas bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak ada dalam Pasal 105 KHI. Karena
tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim
mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di
persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak
termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait.diletakkan
pada kebijakan hakim dan sejauh mana hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta
dan bukti yang terungkap di persidangan.
C.
Dampak Perceraian Bagi Mental Anak
dan Solusinya
Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan banyak
konflik dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa
ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa melihat
dan mendengar secara jelaspertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun
alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka
melihat orangtuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa
takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar
pertengkaran orangtua, anak dapat mulai menjadi pemurung. Oleh karena itu
sangat penting untuk tidak bertengkar di depan anak-anak.
Ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis untuk
anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Pada
masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru.“Dua
tahun pertama setelah terjadinya perceraian merupakan masa-masa yang amat sulit
bagi anak-anak.Mereka biasanya kehilangan minat untuk pergi dan mengerjakan tugas-tugas
sekolah, bersikap bermusuhan, agresif depresi, dan dalam beberapa kasus ada
yang bunuh diri. Anak-anak yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa
gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti insomnia (sulit
tidur), kehilangan nafsu makan.”Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika
orangtuanya bercerai adalah Tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang
pergi, Sedih dan kesepian, Marah, Kehilangan, Merasa bersalah, menyalahakan
diri sendiri sebagai penyebab orang tuanya bercerai Perasaan-perasaan tersebut
di atas oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku: Suka mengamuk, menjadi
kasar, dan tindakan agresif lainnya; Menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak
suka bergaul; Sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga
prestasi disekolah cenderung menurun; Suka melamun, terutama mengkhayalkan
orangtuanya akan bersatu lagi.“Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada
awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama.
Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang
tetap bermasalah bahkan setelah bertahun tahun terjadinya perceraian. Anak yang
berhasil dalam proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan
kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi,
maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak
dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, “setelah dewasa
anak menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang
lain atau lawan jenis.”
Yang Harus Dilakukan Orang Tua Berhasil atau tidaknya
seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya
tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua
menghadapi perceraian, pola asuh dari si
orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi
orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya
tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing anak,
tetapi sebagai orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki
pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya
hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini adalah beberapa saran yang
sebaiknya dilakukan orangtua setalah perceraian[8]
:
a.
Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak
bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi
tinggal bersama Mama dan Papa, tapi hanya dengan salah satunya.
b.
Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika
harus pindahrumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan
nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri,
anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya. Di luar
perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan
rutin sehari-hari si anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke
sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.
c.
Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak
sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan
menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
d.
Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salah si anak. Anak perlu
selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai
anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan
cara: berkunjung,menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu
bahwa dirinya selalu diingat dan ada dihati orangtuanya.
e.
Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan
orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama
orangtuanya itu.
f.
Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua
yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati
anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
g.
Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan
anak.
h.
Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan
anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada
salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak
menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung,
cemas dan mengalami konflik kesetiaan.
i.
Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan.
j.
Beri respon terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau
celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan
mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil mau tahu saja urusan Mama Papa".
mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil mau tahu saja urusan Mama Papa".
Dari
saran-saran di atas terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama orangtua agar
anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan
orangtua bagi sang anak. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan
menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian. Tapi jika
itu dilakukan, berarti orangtua merupakan individu egois yang hanya memikirkan
diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Beberapa
indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah Menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah
tidak lagi bersama dan tidak lagi, Berfantasi akan persatuan kedua orangtua,
Dapat menerima rasa kehilangan, Tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan
diri sendiri, Menjadi dirinya sendiri lagi. Kalau perceraian memang tak
terhindari lagi, maka mari membuat perceraian tersebut menjadi perceraian yang
tidak merugikan anak. Suami-istri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan
orangtua ikut juga bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua
orangtua dan menginginkan kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka.
Bagi anak, rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri
bergantung pada ekspresi cinta kedua orangtuanya. Perhatian berupa materi
memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu
beradaptasi dengan baik.
BAB III
PENUTUP
ANALISA
Berkaitan
dengan kekuasaan orang tua terhadap anak KHI mengaturnya didalam konteks makna
perkawinan dan perceraian orang tua dengan demikian makna perkawinan dalam
Islam bukan semata-mata diartikan hubungan seksual atau sebagai objek
kenikmatan saja, namun perkawinan tersebut memiliki tanggung jawab bersama yang
secara konsekuen adalah memelihara dan menfasilitasi anak dari hubungan
perkawinan tersebut.
Sedangkan
perceraian dalam Islam merupakan perkara halal yang peling dibenci Allah SWT.
Secara substansial Islam sangt tidak menganjurkan perceraian dan sedapat
mungkin dihindarkan. Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap
menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut
karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan
yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Tidak
demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan
yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa
hidup mereka akan berubah.
KHI
mengatur tentang kekuasaan orang tua pasca perceraian dengan criteria 12 tahun
karena dalam usia ini anak dianggap telah akhil baliq.dan yang menjadi tanggung
jawab mengenai hak asuh terhadap anak tersebut antara KHI dan UU No.1 tahun
1974 adalah sejalan dan harus dianggap logis mengingat makna kekuasaan orang
tua terhadap anak sangat berkorelasi terhadap makna perkawinan dan perceraian
sebagaimana diatur dalam KHI dan UU No.1 Tahun 1974 yang juga pemaknaanya
sejalan dengan pemaknaan pelindungan anak sebagaimana diatur dalam UU No.23
Tahun 2002.
Seringkali
dalam kenyataannya salah satu
orang wali saja
yang mendapatkan hak perwalian
anak dan ternyata
tidak dapat melaksanakan
kewajibannya,sedangkan pihak
lain ini tidak
mendapatkan hak perwalian
juga ternyata sangat
melalaikan kewajibannya,
sehinggga menyebabkan kepentingan
dari si anak
menjadi terabaikan dan
penguasaan terhadap anak
menjadi tidak jelas. Sejalan dengan
hal tersebut di atas
Perwalian dalam UU
No.4 Tahun 1974
diatur dalam Pasal
50 – Pasal 54 akan
tetapi juga mempunyai
kaitan yang erat
dengan Pasal 48
dan Pasal 49
yang mengatur tentang
kekuasaan orang tua
dan pembatasannya. Pada Pasal
49ditentukan bahwa kekuasaan salah
seorang dari orang
tua dapat dicabut
dengan keputusan pengadilan
atas permintaan orang
tua yang lain. Dari
ketentuan Pasal 49
ini dapat ditafsirkan,
bahwa menurut UU
No.1 Tahun 1974
kekuasaan orang tua
terhadap anak dapat
dijalankan oleh seseorang
dari kedua orang
tua si a
KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan pada BAB II maka dapat ditarik kesimpulan antara UU No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan,UU 23 Tahun 2002 tantang perlindungan anak, dan KHI khusus
berkaitan dengan kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian.
1. Bahwa perceraian yang terjadi
diantara orang tua,secara umun tetap mewajibkan orangtua secara bersama-sama
memberikan yang terbaik bagi anak. Dengan
demikian kekuasaan orang tua diwujudkan dalam perangkat hak dan
kewajiban anak, dan perangkat kewajiban dan hak orang tua.
2. Apabila Negara memandang jaminan kepentingan
anak terancam akibat adanya perceraian orang tua, pada dasarnya Negara memiliki
otoritas mengambil alih persoalan dan sekaligus mengambil suatu kebijakan
semata-mata demi melindungi kepentingan anak.
3. Dalam konteks Hukum nasional dan
kepentingan anak, maka UU No.23 Tahun 2002 tentang pelindungan anak, dapat
diperkirakan menjadi landasan rujukan utama bagi para hakim dalam memutuskan
perkara mengingat didalamnya perintah pendirian lembaga independen bernama
KPAI. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian dalam konteks UU ini
mengandung makna bahwa KPAI memiliki kapasitas untuk memberikan melakukan
pengawasan dan menjamin hak-hak anak yang menjadi kewajiban orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazli
Rahman.2006.Fiqh Munakahat,
Jakarta:Kencana Prenada Media Grup.
Kompilasi Hukum Islam
a.htm
Martokusumo
Sudikno.1998.Hukum Acara Perdata
Indonesia,Edisi lima.Yogyakarta:Liberty
Moh.
Arifin Ilham, 2004. Saat Berharga untuk
Anak kita, penulis : Moh. Fauzil Adhim, nuansa cendika
Rafiq Ahmad,1995.Hukum Islam di Indonesia,cet
1.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Undang-undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
[1] Pasal 1 Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta:RajaGrafindo Persada,1995,cet .1,h.268
[3] Ibid,.h 248.
[4]
Ahmad, Abu Daud, dan Al-hakim riwayatAbdullah bin ‘Amr 2001 (www.keluargasamara.com)
[5]
Ibid,.
[6] Ps. 39 ayat (1) b.PP.jo.ps.153
ayat (2) Huruf b KHI
[7] Sudikno Martikusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta:Liberty,1998.h,.168.
[8] Martina
Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April 2002 http://www.e/psikologi.com/keluarga/180402a.htm
0 komentar:
Posting Komentar