Minggu, 28 Oktober 2012

hak asuh dan kekuasaan orang tua ...HUKUM PERDATA ISLAM


MAKALAH
Hak Asuh Anak dan Kekuasaan Orangtua Pasca Perceraian
(diajukan sebagai tugas pengganti UTS mata kuliah HPII)


Dosen pembimbing: Busman Edyar, MA

NURAFNI
1062018

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (PA)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dari hubungan dengan orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang pokok perkawinan No.1 tahun 1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua. Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua dalam hal ini meliputi masalah ekonomi, pendidikan dan segala hal mengenai kebutuhan pokok.
 Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa lebih berhak untuk me­nga­suh anak-anaknya. Entah itu ibunya, karena merasa ia yang me­ngandung dan melahirkan. Atau ayahnya, karena merasa ia yang membiayai. Pada  umumnya  dalam  praktek  di  pengadilan,  anak  yang  berumur  di  bawah sepuluh  tahun,  pengasuhannya  atau  perwaliannya  diserahkan  kepada  ibunya, bagi  anak  yang  berumur  di  atas  sepuluh  tahun  perwaliannya  terserah kepada  pilihan  si  anak  sendiri,  apakah  dia  akan  ikut  kepada  ibunya  ataukah memilih  ikut  pada  bapaknya  dalam  hal  perwalian  bagi  si  anak.  Apabila  hal  yang demikian  ini  terjadi  maka  Putusan  Pengadilanlah yang  menentukan  siapakah  yang lebih  berhak  menjadi  wali  dari  si  anak  tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarka letar belakang diatas,maka dapat ditarik suatu permasalahan yang muncul sebagai sebuah persoalan yaitu:
1.      Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI?
2.      Siapakah yang lebih berhak mengasuh anak setalah orang tua mereka bercerai, Ayah atau Ibu?
3.      Apa Dampak perceraian terhadap anak?

C.    Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas UTS, juga bertujuan untuk pembelajaran dalam hal akibat Hukum yang timbul pasca perceraian dan bagaimana hak asuh dan kekuasaan orang tua terhadap anak dari pernikahan yang gagal akibat perceraian serta dampak perceraian itu sendiri terhadap anak. Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca dalam hal hak asuh dan kekuasaan orang tua pasca perceraian.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI.
Perkawinan adalah suatu akad antara laki-laki dan perempuan yang dengan akad tersebut laki-laki dan perempuan dihalalkan untuk berhubungan suami-istri dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami-istri tersebut. Pada perinsipnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Sedangkan perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri. Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang, ini berdasarkan Hadits Nabi SAW

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَبْغَضُ اَلْحَلَالِ عِنْدَ اَللَّهِ اَلطَّلَاقُ

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai."

Dalam hadits tersebut mengisyaratkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir, yang boleh ditempu manakala kehidupan rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan.[2]
Dalam pasal 41  Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah:
1.      ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan diberikan;
2.      Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3.      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
Dalam Undang-Undang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ayah atau ibu, akan tetapi terkait dengan hal ini Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci yaitu :
1.      pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
2.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3.      Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
 Dari penjelasan ini bisa diambil kesimpulan bahwa hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ibu, jika anak tersebut belum berumur 12 tahun.Hak asuh anak yang terdapat dalam pasal 41 UU Perkawinan dan  pasal 105 KHI dapat dipahami bahwa hak asuh anak jatuh pada ibu, sedangkan biaya pendidikan dan pemeliharaan yang dibutuhkan oleh anak tetap menjadi tanggung jawab ayah[3].
Selanjutnya dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan bahwa salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama tentang pencabutan kuasa hak asuh anak, jika terdapat alasan kuat mengenai hal tersebut. Dalam hubungannya dengan gugatan hak asuh anak,  jika dilihat dari sisi kepentingan penggugat sekurangnya terdapat dua kemungkinan bentuk tuntutan yaitu:
 Pertama : si penggugat berkepentingan hanya untuk menetapkan menurut hukum bahwa hak pemeliharaan atas anak tersebut berada dalam penguasannya sedangkan faktanya anak tersebut memang sudah berada dalam pemeliharaan dan penguasaannya. Tuntutan ini diajukan dengan alasan adanya indikasi kuat bahwa pihak tergugat ingin merebut si anak sedangkan tergugat tidak mampu memberikan jaminan bagi perkembangan yang terbaik bagi si anak. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar pihak tergugat tidak bisa mengambil anaknya begitu saja untuk dikuasai.
Kedua, penggugat disamping berkepentingan untuk menetapkan secara hukum atas anaknya berada dalam pemeliharaan dan penguasaannya juga berkpentingan untuk memperoleh anaknya kembali ke dalam pemeliharaannya yang faktanya selama ini telah dikuasai oleh tergugat.

B.     Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Istilah “hak asuh anak” secara hukum sesungguhnya merujuk pada pengertian kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. Sedangkan pengertian istilah “kuasa asuh” adalah kekuasaan orang tua untuk  mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Dari pengertian istilah diatas, kiranya memang sulit untuk memahami dan membedakan kedua istilah tersebut tetapi hal ini perlu dijelaskan karena kalau kita bicara hak asuh anak, itu artinya kita sedang berbicara tentang anak terlantar dalam pengertian hak seorang anak yang tidak memiliki jaminan untuk tumbuh
kembang secara wajar karena orang tuanya tidak mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis. Dalam perceraian, yang kerap menjadi masalah bukan “perebutan hak asuh anak”  tetapi masalah  “perebutan kuasa asuh anak”.
a.       Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
“Seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah,sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).[4]

Demikian halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu. Abu Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan,
dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashimdari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.[5] Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban member nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali haid)[6].  serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika anak belum mencapai fase tamyiz, maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya misalnya karena kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak, maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mampu untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mampu dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal,mampu mendidik,terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami.
b.      Siapa yang lebih berhak
Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa lebih berhak untuk mengasuh anak-anaknya. Entah itu ibunya, karena merasa ia yang mengandung dan melahirkan.Atau ayahnya, karena merasa ia yang membiayai. Tidak ada pihak yang bisa merasa lebih berhak daripada pihak lain. Hak pengasuhan anak sebenarnya dapat diberikan kepada pihak mana pun, Baik itu ayah atau pun ibu.UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Artinya, kalau pengadilan memutuskan bahwa hak pengasuhan ada pada ibu, maka ibunyalah yang akan mengasuh. Bila pengadilan memutuskan sebaliknya, berarti ayahnya yang akan mengasuh. Selanjutnya, bila anak itu telah berusia 18 tahun, barulah ia boleh memilih ingin ikut ayah atau ibunya, karena ia sudah dianggap dewasa, pengadilan yang dimaksud di sini adalah pengadilan agama untuk yang beragama Islam dan pengadilan negeri untuk pemeluk agama lain. Khusus untuk umat Muslim, pengaturan hak asuh anak, juga diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991. Dalam surat itu dinyatakan bahwa hak asuh anak yang berusia di bawah 12 tahun sebaiknya diberikan kepada ibunya. Jadi, di pengadilan agama, biasanya, hak asuh anak yang belum berusia 12 tahun diserahkan kepada ibunya. Ketentuan ini sifatnya tidak mutlak. Pada kondisi tertentu, pengasuhan anak yang berusia 3 tahun pun bisa diberikan kepada ayahnya. Jika satu pihak dianggap tak layak mengasuh, hak pengasuhan pun diberikan kepada pihak lain. “Yang dimaksud tak layak adalah, kondisi saat ayah atau ibu dipandang mungkin menelantarkan anak.  Misalnya,ayahnya mungkin dianggap berbahaya karena sewaktu-waktu bisa melakukan pembunuhan atau tindak kekerasan,contoh lain seperti salah satu pihak sakit berkepanjangan atau tidak memiliki pekerjaan yang jelas.
c.       Apakah hak asuh anak boleh dialihkan
Pihak pengadilan  bisa mencabut hak pengasuhannya. Pihak yang tidak mendapatkan hak pengasuhan bisa mengajukan gugatan dan menyertakan bukti bahwa pihak yang mengasuh tidak bisa berperan sebagai ayah atau ibu yang baik. Caranya, ia harus mengajukan saksi yang tepat, bersifat independen dan bisa memberikan keterangan obyektif. “Jika saksi memiliki hubungan darah dengan penggugat atau orang yang digaji oleh penggugat, kesaksiannya kemungkinan dianggap bersifat memihak.”
Hak pengasuhan anak ternyata bisa langsung dialihkan, tanpa melalui proses hukum lagi, bila orang tua memutuskan untuk membuat kesepakatan baru. Misalnya, hak pengasuhan yang ditetapkan pengadilan jatuh pada ibu, bisa saja dialihkan kepada ayah, bila ayah dan ibu berkompromi dan memutuskan anak itu lebih baik diasuh ayahnya. Peralihan hak asuh seperti ini sama sekali tidak melanggar hukum. Pengadilan juga tidak akan menjatuhkan sanksi hukum.Bagaimana jika anak menolak untuk tinggal bersama pihak yang telah ditentukan oleh pengadilan. Pada dasarnya tidak ada pihak yang bisa memaksakan kehendak ataupun mengaku melakukan kehendaknya demi kepentingan anak. “Jika anak itu tidak suka, ia memang tak boleh dipaksa. Namun, pengadilan akan melihat terlebih dahulu, kenapa anak itu menolak  Apakah anak itu benar menolak dengan alasan yang jelas atau apakah dia berada di bawah ancaman pihak lain. Keputusannya mutlak ada pada pengadilan,” Apakah seorang wanita yang pernah berselingkuh tak akan bisa mendapatkan hak pengasuhan, perselingkuhan tidak bisa dijadikan tolok ukur. Ibu yang berselingkuh bukan berarti tidak bisa berperan sebagai ibu yang baik.Perselingkuhan itu belum tentu bisa dibuktikan. Seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan tetap pun tetap bisa mendapat hak pengasuhan, karena kewajiban untuk membiayai anak berada di pundak sang ayah.Perseteruan setelah putusan hak asuh anak Jika hukum sudah jelas dan putusan pengadilan adalah mutlak, mengapa masih saja sering terjadi perseteruan. Keributan yang terjadi ternyata bukan dikarenakan oleh perebutan hak asuh, melainkan tentang kompromi kunjungan terhadap anak. Misalnya ada yang tidak memperbolehkan mantan pasangannya bertemu anaknya, karena alasan tertentu. “Satu pihak yang tidak diberi hak pengasuhan memang mungkin saja tidak diperbolehkan mengunjungi anak. Salah satu alasannya mungkin pihak itu dianggap bisa membahayakan keselamatan jiwa anak. Tapi, hal itu harus diputuskan oleh pengadilan.”
Pihak yang dilarang bertemu mencoba menemui atau menjemput anaknya tanpa ijin. Dari sinilah muncul istilah orang tua menculik anak sendiri. Tindakan pengambilan anak, tanpa seijin pihak yang memiliki hak asuh, tidak dapat dikategorikan ke dalam penculikan.“Menurut hukum, tidak ada orang yang bisa menculik anak kandungnya sendiri.” Jadi, karena kejadian itu tidak melanggar hukum. Sebaliknya pihak yang dituduh sebagai penculik pun tidak bisa dikenakan sanksi hukum,
kecuali, jika pengambilan anak itu dilakukan dengan kekerasan.“Hak asuh yang dimaksudkan dalam hukum adalah hak untuk mengasuh, bukan hak untuk menguasai. “Ketika hak asuh diberikan kepada salah satu pihak, bukan berarti pihak tersebut boleh menguasai anaknya dan tidak memperbolehkan pihak lain menemui anak itu.
pihak ayah tetap berkewajiban untuk membiayai anak tersebut. Pengadilan pun bisa memutuskan jumlah rupiah yang harus dibayarkan oleh pihak ayah. Konsepsi perlindungan anak yang sebagaimana yang diatur UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif asas-asas :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d.penghargaan terhadap pendapat anak.
Jadi dalam perkara hukum yang menyangkut kepentingan anak, Hakim sebelum memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dapat meminta pendapat dari si anak. Hal ini juga tidak terlepas dari kewajiban Hakim untuk memutus suatu perkara dengan seadil-adilnya dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasakeadilan[7]. Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Anak menyatakan "Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan" Berdasarkan ketentuan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 diatas maka jelas dan tegas Hakim dapat meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”.tentunya Hakim harus mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia si anak. Aturan dasar dan prinsip-prinsip dalam pembagian hak asuh anak, dalam kasus perceraian yang paling umum terjadi Misalnya, pembagian waktu asuh dan prosedurnya Dalam memutuskan “kuasa asuh anak” dalam perkara perceraian, aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
 a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
 b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut
Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :Akibat putusnya perkawinan karena perceraianialah : (a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan  Pasal 31 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak : Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat  ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu. Pengajuan permohonan kuasa asuh anak dapat diajukan sekaligus dalam permohonan cerai atau diajukan terpisah dengan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri/ Agama. Perlu diingat, berdasarkan aturan hukumnya, Penetapan pengadilan tentang kuasa
asuh anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya. Hal ini sebagaimana dimaksud ketentuan pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut, Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :
a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya;
c. batas waktu pencabutan Oleh karena penetapan pengadilan tidak memutus hubungan darah antara anak dan orang tua  kandungnya dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tua kepada si anak maka tidak ada alasan salah satu orang tua menolak kunjungan orang tua yang lain untuk bertemu dengan si anak.
 Praktek hukumnya, pembagian waktu berkunjung atau waktu bercengkrama orang tua dan si anak dilakukan berdasarkan kesepakatan diantara kedua orang tua Dalam memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dalam perkara perceraian, sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang berhak, Ayah atau Ibu. Jadi tidak heran banyak permasalahan dalam kasus “perebutan kuasa asuh anak”, baik didalam persidangan maupun diluar persidangan. Kalaupun ada, satu-satunya Aturan yang jelas dan tegas bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak ada dalam Pasal 105 KHI. Karena tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait.diletakkan pada kebijakan hakim dan sejauh mana hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan.

C.    Dampak Perceraian Bagi Mental Anak dan Solusinya
Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan banyak konflik dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar secara jelaspertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orangtuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, anak dapat mulai menjadi pemurung. Oleh karena itu sangat penting untuk tidak bertengkar di depan anak-anak.
Ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis untuk anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru.“Dua tahun pertama setelah terjadinya perceraian merupakan masa-masa yang amat sulit bagi anak-anak.Mereka biasanya kehilangan  minat untuk pergi dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, bersikap bermusuhan, agresif depresi, dan dalam beberapa kasus ada yang bunuh diri. Anak-anak yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti insomnia (sulit tidur), kehilangan nafsu makan.”Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah Tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, Sedih dan kesepian, Marah, Kehilangan, Merasa bersalah, menyalahakan diri sendiri sebagai penyebab orang tuanya bercerai Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku: Suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya; Menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul; Sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi disekolah cenderung menurun; Suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.“Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, “setelah dewasa anak menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis.”
Yang Harus Dilakukan Orang Tua Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola  asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing anak, tetapi sebagai orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini adalah beberapa saran yang sebaiknya dilakukan orangtua setalah perceraian[8] :
a. Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama Mama dan Papa, tapi hanya dengan salah satunya.
b. Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika harus pindahrumah). Kalau anak akan tinggal bersama  kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya. Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.
c. Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan
 menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
d. Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salah si anak. Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung,menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada dihati orangtuanya.
e. Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu.
f. Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
g. Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak.
h. Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan.
i. Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan.
j. Beri respon terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan
mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil mau tahu saja urusan Mama Papa".
Dari saran-saran di atas terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang anak. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah  Menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi bersama dan tidak lagi, Berfantasi akan persatuan kedua orangtua, Dapat menerima rasa kehilangan, Tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri, Menjadi dirinya sendiri lagi. Kalau perceraian memang tak terhindari lagi, maka mari membuat perceraian tersebut menjadi perceraian yang tidak merugikan anak. Suami-istri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orangtua ikut juga bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan menginginkan kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri bergantung pada ekspresi cinta kedua orangtuanya. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi dengan baik.












BAB III
PENUTUP

ANALISA
Berkaitan dengan kekuasaan orang tua terhadap anak KHI mengaturnya didalam konteks makna perkawinan dan perceraian orang tua dengan demikian makna perkawinan dalam Islam bukan semata-mata diartikan hubungan seksual atau sebagai objek kenikmatan saja, namun perkawinan tersebut memiliki tanggung jawab bersama yang secara konsekuen adalah memelihara dan menfasilitasi anak dari hubungan perkawinan tersebut.
Sedangkan perceraian dalam Islam merupakan perkara halal yang peling dibenci Allah SWT. Secara substansial Islam sangt tidak menganjurkan perceraian dan sedapat mungkin dihindarkan. Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Tidak demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah.
KHI mengatur tentang kekuasaan orang tua pasca perceraian dengan criteria 12 tahun karena dalam usia ini anak dianggap telah akhil baliq.dan yang menjadi tanggung jawab mengenai hak asuh terhadap anak tersebut antara KHI dan UU No.1 tahun 1974 adalah sejalan dan harus dianggap logis mengingat makna kekuasaan orang tua terhadap anak sangat berkorelasi terhadap makna perkawinan dan perceraian sebagaimana diatur dalam KHI dan UU No.1 Tahun 1974 yang juga pemaknaanya sejalan dengan pemaknaan pelindungan anak sebagaimana diatur dalam UU No.23 Tahun 2002.
Seringkali  dalam  kenyataannya  salah  satu  orang  wali  saja  yang mendapatkan  hak  perwalian  anak  dan  ternyata  tidak  dapat  melaksanakan  kewajibannya,sedangkan pihak  lain  ini  tidak  mendapatkan  hak  perwalian  juga  ternyata  sangat  melalaikan kewajibannya,  sehinggga  menyebabkan  kepentingan  dari  si  anak  menjadi  terabaikan  dan  penguasaan  terhadap  anak  menjadi  tidak  jelas. Sejalan  dengan  hal  tersebut  di atas  Perwalian  dalam  UU  No.4  Tahun  1974  diatur  dalam  Pasal  50 – Pasal  54  akan  tetapi  juga  mempunyai  kaitan  yang  erat  dengan  Pasal  48  dan  Pasal  49  yang  mengatur  tentang  kekuasaan  orang  tua  dan  pembatasannya. Pada  Pasal  49ditentukan bahwa  kekuasaan  salah  seorang  dari  orang  tua  dapat  dicabut  dengan  keputusan  pengadilan  atas  permintaan  orang  tua  yang  lain. Dari  ketentuan  Pasal   49  ini  dapat  ditafsirkan,  bahwa  menurut  UU  No.1  Tahun  1974  kekuasaan  orang  tua  terhadap  anak  dapat  dijalankan  oleh  seseorang  dari  kedua  orang  tua  si  a

KESIMPULAN
               Berdasarkan penjelasan pada BAB II maka dapat ditarik kesimpulan antara UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan,UU 23 Tahun 2002 tantang perlindungan anak, dan KHI khusus berkaitan dengan kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian.
1.      Bahwa perceraian yang terjadi diantara orang tua,secara umun tetap mewajibkan orangtua secara bersama-sama memberikan yang terbaik bagi anak. Dengan  demikian kekuasaan orang tua diwujudkan dalam perangkat hak dan kewajiban anak, dan perangkat kewajiban dan hak orang tua.
2.      Apabila Negara memandang jaminan kepentingan anak terancam akibat adanya perceraian orang tua, pada dasarnya Negara memiliki otoritas mengambil alih persoalan dan sekaligus mengambil suatu kebijakan semata-mata demi melindungi kepentingan anak.
3.      Dalam konteks Hukum nasional dan kepentingan anak, maka UU No.23 Tahun 2002 tentang pelindungan anak, dapat diperkirakan menjadi landasan rujukan utama bagi para hakim dalam memutuskan perkara mengingat didalamnya perintah pendirian lembaga independen bernama KPAI. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian dalam konteks UU ini mengandung makna bahwa KPAI memiliki kapasitas untuk memberikan melakukan pengawasan dan menjamin hak-hak anak yang menjadi kewajiban orang tua.


DAFTAR  PUSTAKA

Ahmad, Abu Daud, dan Al-hakim riwayatAbdullah bin ‘Amr 2001 (www.keluargasamara.com)

Ghazli Rahman.2006.Fiqh Munakahat, Jakarta:Kencana Prenada Media Grup.
Kompilasi Hukum Islam
Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April 2002  http://www.e/psikologi.com/keluarga/180402
a.htm
Martokusumo Sudikno.1998.Hukum Acara Perdata Indonesia,Edisi lima.Yogyakarta:Liberty
Moh. Arifin Ilham, 2004. Saat Berharga untuk Anak kita, penulis : Moh. Fauzil Adhim, nuansa cendika
Rafiq Ahmad,1995.Hukum Islam di Indonesia,cet 1.Jakarta:RajaGrafindo Persada

Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan






[1] Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:RajaGrafindo Persada,1995,cet .1,h.268
[3] Ibid,.h 248.
[4] Ahmad, Abu Daud, dan Al-hakim riwayatAbdullah bin ‘Amr 2001 (www.keluargasamara.com)
[5] Ibid,.
[6] Ps. 39 ayat (1) b.PP.jo.ps.153 ayat (2) Huruf b KHI
[7] Sudikno Martikusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta:Liberty,1998.h,.168.
[8] Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April 2002 http://www.e/psikologi.com/keluarga/180402a.htm

0 komentar:

Posting Komentar