HUKUM
ISLAM DI INDONESIA (III)
WAKAF
A. Penarikan Kembali Harta Wakaf
Kompilasi
Hukum islam tidak menjelaskan masalah penarikan kembali harta wakaf. Terkecuali
hibah, dimana hibah tidak bisa ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya (pasal 212 KHI). Di dalam hadis sahih muslim, tidak diketahui
penjelasan diperbolehkannya penarikan kembali wakaf. Terlebih- lebih dalam
wakaf dimana Mayoritas Ulama berpendapat kepemilikan wakaf menjadi gugur dan
beralih menjadi milik Allah kemudian diperkuat adanya Qarinah dalam hadis Umar
Ibn Al- khattab tentang wakaf, bahwa harta wakaf tidak bisa diperjual belikan, tidak bisa
diwariskan dan tidak bisa pula dihibahkan[1].
Sementara
dalam ketentuan tentanng hibah, Muslim meriwayatkan enam jalur hadis yang
menegaskan bahwa rasulullah SAW. Mengibaratkan :
Perumpamaan
orang yang menarik kembali sedekahnya dapat dibaca zakat, infaq, hibah, wasiat,
dan wakaf adlah sepErti umpama anjing yang muntah- muntah, kemudian mengambil
kembali muntahnya itu, dan memakannya
lagi (Riwayat Muslim)
Oleh
karena itu dengan mengiyaskan tindakan
wakaf dengan hibah, dapat diambil pemahaman bahwa menarik kembali harta wakaf hukumnya haram. Hal ini
karena harta benda yang sudah diwakafkan, tidak lagi menjadi haknya, tetapi
menjadi hak milik mutlak Allah.
Dalam
hal ini seorang wakif harus mempertimbangkan secara masak sebelum mewakafkan
harta bendanya. Termasuk didalam memintak pertimbangan kepada ahli waris agar
kelak dikemudian hari tidak timbul “penyesalan” akibat tindakannya itu. Wakaf
sebagai tindakan tabarru’ yang murni
mengharapkan ridha Allah, hendaknya dilakukan setelah syarat- syarat
terpenuhi, seperti telah memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
harta benda yang diwakafkan itu milik sempurna, dan dalam melakukan tindakannya
itu benar- benar atas kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun,
selain itu keterlibatan saksi dan petugas uang diserahi tugas untuk mewujudkan
adanya tertib hukum dan administrasi disamping itu fungsi mereka secaara
substansi untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan dari tujuan
wakaf tersebut.
Dalam
hal ini yang perlu juga diperhatikan yaitu penarikan kembali dalam arti apabila
terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh
Nadzir misalnya dapat dilakukan apabila wakif telah menentukan syarat tehadap
pemanfaatan benda wakaf , jika hal tersebut nyata menyimpang dari tujuan dan
syarat yang telah ditentukan, wakif yang menarik kembali untuk kemudian
diwakafkan kembali guna tercapainya tujuan utama wakaf, namun disini penarikan
kembali bukan dimilikinya untuk millik pribadi.
Dimana dalam Hadis Rasulullah diatas telah diisyaratkan sangat tegas
menunnjukkan tindakan tindakan tidak terpujinya tindakan wakif menarik kembali
wakafnya.[2]
Wakaf Dalam Hadist
Al-Qur’an
menyebutkan secara umum, tetapi dalam hadis ada yang menyebutkan secara khusus
dan umum. Hadis-hadis yang menyinggung dasar hukum kedua, disyariatkan wakaf
ialah Al-Hadis. Jika masalah wakaf sekaligus menjadi dasar hukum wakaf, adalah
hadis yang berkenaan dengan amal jariyah, seperti[3];
“Dari Abi Hurairah semoga Allah meridhoinya, Nabi
Saw. Bersabda;
“apabila mati seorang
manusia (anak Adam), habislah amalnya terkecuali tiga perkara, yaitu sedekah
jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendo’akan baginya”.
(Al-Hadis R. Muslim).
Walaupun secara umum disebutkan adalah amal jariah
namun yang dimaksud disini termasuk wakaf. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan
As-Syaukani dalam bukunya Nailul Authar, “para
ulama menafsirkan sadaqah jariah yang dimaksud dalam hadis itu adalah wakaf”.
Sayyid Sabiq juga sependapat dengan As-Syaukani bahwa
yang dimaksud dalam hadis di atas adalah wakaf. “Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan wakaf dan menjadikannya
perbuatan sunnat sebagai media pendekatan yang bisa mendekatkan diri kepada
Allah Swt.” Pendapat Sayyid Sabiq ini beliau kemukakan setelah menyebutkan
hadis yang diriwayatkan Muslim tersebut.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Jami’
al-Shahih Lil Bukhari. Ada enam hadis dianggap tidak berulang-ulang sebagai
dasar hukum wakaf ini, berikut hadis-hadis tersebut[4]:
Hadis pertama,
hadis Shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
“Dari Ibnu Umar, semoga Allah
meridhoi keduanya. Ibnu Umar berkata , bahwa Umar telah mendapatkan sebidang
tanah di Khaibar. Lalu ia datang kepada Nabi SAW. Untuk meminta petunjuk
tentang tanah itu. Umar berkata : Ya Rasulullah, sesungguhnya saya dapat tanah
di khaibar, saya belum pernah dapat harta di khaibar, saya belum pernah dapat
harta yang lebih berharga menurut pandangan saya dari padanya bagaimana
petunjuk Anda”. Rasulullah menjawab: “Kalau Anda mau tahan pokoknya dan Anda
sedeqahkan hasilnya”. Ibnu Umar berkata :”Lalu Umar mensedeqahkan (mewakafkan).
Bahwa pokonya tidak dijual, tidak diwariskannya dan tidak menghibahkannya. Maka
ia mewakafkan kepada fakir, kepada keluarga yang dekat, kepada pembebasan
budak, sabilillah, ibnu sabil, musafir dan kepada tamu. Dan tidak terhalang
bagi yang mengurusinya memakan untuknya secara wajar dan member makan
saudaranya.”
Hadis
kedua, yang tidak berulang itu ialah riwayat dari Usman Ibn
Affan, yaitu:
“Dari Usman,
sesungguhnya Nabi telah datang ke Madinah, disana tidak ada air yang baik untuk
diminum kecuali sumur Rumat, Nabi berkata: “Barang siapa yang memberi sumur
Rumat menjadikan timbanya bersama-sama dengan timba kaum muslimin
(men-sedeqahkan air sumur tersebut kepada kaum muslimin), maka ia akan masuk
surga”. Kemudian Usman berkata ; “Kemudian saya membelinya dengan hartaku
sendiri”.
Hadis ketiga, dari
riwayat Abi Hurairah, sebagai berikut:
“Dia berkata:
bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa menahan (ihtibasa) seekor kuda untuk
keperluan kebaikan dijalan Allah dengan iman dan mengharapkan pahala dari
Allah, maka semua tubuh kuda itu bersama dengan kotorannya akan ditimbang
sebagai tibangan amal kebaikan dihari akhirat”.
Hadis keempat.
Dari Ibnu Abbas, yang berbunyi:
“Dari Ibnu
Abbas dia berkata bahwa Rasulullah akan berangkat pergi haji. Lalu seorang
istri berkata kepada suaminya: Berangkatlah saya untuk menunai-kan haji bersama
Rasulullah. Suaminya menjawab: saya tidak mempunyai sesuatu untuk
memberangkatkan engkau pergi haji. Istrinya menjawab; berangkatkanlah saya
dengan unta engkau bersama sifulan. Suaminya menjawa: itu adalah penahanan
harta dijalan Allah. Lalu suaminya dating kepada Rasulullah SAW. Maka Nabi
bersabda: jika engkau memberangkatkannya pergi haji itupun sudah termasuk fi
sabilillah, bahwa Rasulullah berkata tentang hak si Khalid: aku telah menahan
baju besinya dan aku anggap hal itu termasuk fisabilillah”.
Hadis kelima, adalah
dari Anas sebagai berikut:
“Dari Anas
bahwa Abu Thalhah berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya Allah telah berfirman:
kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebahagian dari harta yang kamu cintai. Sesungguhnya harta yang
paling saya senangi ialah (kebun) di Baihura! Harta itu ku jadikan sedeqah
untuk Allah. Tempatkanlah Ya Rasulullah menurut apa yang telah ditunjukkan
Allah kepada Anda. Rasulullah bersabda: Bakh! Bakh! Itu harta yang
menguntungkan. Aku telah mendengar dan aku telah ditunjukkan untuk kau
sedeqahkan harta itu kepada familimu terdekat. Abu Thalhah berkata: saya akan
melaksanakan ya Rasulullah. Kemudian Abu Thalhah membagi-bagikan hartanya itu
kepada kerabatnya dan keponakannya”. (Muttafaqun “alaih).”
Hadis keenam, hadis
dari Anas tentang pembangunan mesjid, hadis tersebut adalah:
“Dari Anas ra.
Anas berkata diwaktu Rasulullah Saw. Sampai di Madinah dan ketika Itu Nabi Saw.
Menyuruh membangun mejid, lalu Rasulullah Saw. Bersabda: “Hai Bani Najjar
berikanlah kebunmu ini untukku untuk pembangunan mesjid ini. Mereka menjawab:
Demi Allah tidak akan kami tuntut harganya, kecuali kepada Allah Swt. (pahala).
Maka Rasulullah mengambil tanah tersebut (kebun) dan lalu membangun mesjid.”
Riwayat lain disebutkan bahwa Rasul bersabda: beri
harga dinding=dindingmu. Mereka menjawab : kami tidak meminta harganya,
melainkan kepada Allah Azza Wajalla.
Dari enam hadis dikemukakan, tampak bahwa Umar Ibn
Khattab telah menginterprestasikannya dan melaksanakan dengan perbuatan
sendiri, dengan mewakafkan tanah yang disukainya, yakni Khaibar. Dan menurut
suatu riwayat, wakaf yang dilaksanakan Umar Ibn Khattab merupakan Wakaf yang
petama kali dilakukan. Kemudian hadis tersebut biasa dijadikan dasar hukum
lembaga perwakafan.
Dari hadits Ibn Umar itu, ada beberapa garisan
penting mengenai aturan dalam berwakaf, yaitu:
Pertama, harta
wakaf itu tidak dialihkan kepemilikannya kepada orang lain baik dengan cara
menjualnya, mewariskan atau menghibahkannya. Kedua, harta wakaf itu digunakan untuk amal kebajiakn. Ketiga, harta wakaf dapat dipelihara
atau dikelola oleh orang atau badan hukum tertentu, di Indonesia disebut
Nadzir. Keempat, bagi pengelola
harta wakaf dapat mengambil sebahagian harta wakaf untuk keperluan dalam
mengurusnya asal tidak berlebih-lebihan. Kelima,
harta yang akan diwakafkan itu hendaklah yang tahan lama atau dapat diambil
manfaatnya dalam waktu lama.
Masing-masing hadits tersebut berisikan aturan dalam
masalah wakaf, seperti pemahaman hadits kedua yang membolehkan untuk menikmati
harta yang diwakafkan.
Oleh Mazhab Dhahiri dan
Abu Yusuf dijadikan alas an untuk membolehkan wakaf pada keluarga dan diri
sendiri. Hadits ketiga, mengisyaratkan bahwa harta-harta yang mendatangkan
manfaat dapat dijadikan harta wakaf.
Sedangkan hadits keempat, berbuat baik kepada
keluarga dengan membiayai pergi haji merupakan suatu amal. Mengenai unta yang
ditarik sementara dari tugas usahanyaguna keperluan haji isterinya, dianggap
juga sebagai habbs (wakaf). Namun Nabi tidak mempertegas hal itu sebagai wakaf. Maka timbul perbedaan
pendapat dikalangan ulama fiqh, apakah pemberian sementara juga tersmasuk wakaf
atau tidak. As-Syafi’I dan Aahmad tidak membenarkan sebagai wakaf. Pada hadis
kelima sebagai dasar bolehnya mewakafkan kepada ahli family (wakaf ahli).
Sementara hadits keenam, mengandung makna mewakafkan sebahagian-sebahagian
harta merupakan kebolehan, seperti mewakafkan dinding mesjid dan lain-lainya.
B. Perubahan, Penyelesaian Dan
Pengawasan Harta Wakaf
Ø Perubahan Benda Wakaf
Pada
dasarnya, terhadap benda yang sudah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan.
Dalam sabda Rasulullah SAW. Telah dijelaskan, bahwa benda wakaf tidak bisa
diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan. Pada Pasal 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dijelaskan[5]:
1. Tanah
yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukkan atau
penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf
2. Penyimpangan
dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal- hal tertentu setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
a. karena
tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
b. Karena
kepentingan umum.
3. Perubahan
satus tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai
akibat ketentuan tertsebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada
bupati/ walikota Madya kepada Daerah,cq. Kepala sub Direktorat Agraria setempat
untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut
Secara lebih rinci diatur dalam
Peratuaran menteri Agama nomor 1 Tahun 1978 yang mendapatkan peraturan
pelaksanaan PP nomor 28 tahun 1977 pasal 12:
1.
Untuk mengubah status dan penggunaan
tanah wakaf, Nadzir berkewajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil
Depag cq. Kepala Bidang melalui Kepala KUA dan Kepala Kandepag secara hierarkis
dengan menyebut alasannya.
2.
Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan
permohonan tersebut pada ayat (1) secara hierarkis kepada Kepala Kanwil Depag
cq. Kepala bidang dengan disertai pertimbangan
3.
Kepala kanwil Depag cq. Kepala bidang
diberi wewenang untuk memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis
atas permohonan perubahan penggunaan tanah wakaf.
Pasal 13 berbunyi :
1.
Dalam hal ada permohonan perubahan satus
tanah wakaf Kepala Kanwil Depag berkewajiban meneruskan kepada Menteri Agama
cq. Direktur Jenderal bimbingan masyarakat Islam dengan disertai pertimbangan.
2.
Direktur jenderal bimbingan masyarakat
islam diberi wewenang untuk member persetujuan atau penolakan secara tertulis
atas permohonan perubahan status tanah wakaf.
3.
Perubahan status tanah wakaf dapat
diizinkan apabila diberikan penggantian yang sekurang- kurangnya senilai dan
seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf.
Menurut para ulama, mereka
membedakan jenis benda wakaf pada dua macam, yaitu berbentuk masjid dan bukan
berbentuk masjid. Yang bukan masjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan
benda tidak bergerak.
Benda wakaf yang berbentu masjid
selain Ibn Taimiyah dan sebagian Hanabilah, sepakat melarang menukar atau
menjualnya. Sementara benda wakaf yang tidak berupa masjid, selain Mazhab Syafi’iyah
membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar- benar sangat
diperlukan. Namun mereka berbeda dalam menetukan persyaratan.
ü Ulama
Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal ;
1) Apabila
wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika mewakafkannya,
2) Apabila
benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankannya, dan
3) Jika
kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.
ü Ulama
Malikiyah juga menentukan tiga syarat yaitu;
1) Wakif
ketika ikrar mengisyaratkan kebolehan ditukar atau dijual,
2) Benda
wakaf itu dengan berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan
tujuan semula diwakafkannya,
3) Apabila
benda wakaf pengganti dibutuhkan untuk kepntingan umum, seperti pembangunan
masjid, jalan raya, dan sebagainya[6].
ü Pendapat
ulama mashab syafi’i dalam penjualan harta wakaf adalah apabila harta wakaf itu
berupa mesjid, maka tidak boleh dijual dan tidak boleh dikembalikan kepada
waqif atau siapapun, walau mesjid itu telah rusak dan tidak dapat digunakan
untuk solat. Alasanya karena harta itu tetap sebagai harta Allah SWT. Akan
tetapi pihak penguasa boleh membangun mesjid lain, jika para penguasa
menganggap hal itu yang terbaik. Jika tidak maka kekayaan mesjid itu menjadi
amanah ditangan pemerintah. Apabila mesjid itu rusak dan dikawatirkan akan
runtuh, maka pihak penguasa harus memperbaikinnya. Apabila harta wakaf berupa
hewan atau buah-buahan dan diduga keras pemanfaatannya akan hilang, maka boleh
dijual dan hasilnya diberikan kepada kerabal waqif yang miskin.apabila tidak
ada maka diberikan kepada fakir miskin lainnya atau untuk kemaslahatan umat
islam setempat.
ü Pendapat
ulama mashab Hambali tentang penjualan harta wakaf adalah sebagai berikut [7]:
· Apabila
manfaat harta wakaf telah hilang, maka harta wakaf tersebut boleh dijual
· Apabila
harta wakaf telah dijual, maka hasil penjualan boleh dibelikan apa saja,
asalkan harta yang dibeli tersebut bermanfaat bagi kepantingan umum.
· Apabila
pemanfaatan harta wakaf sebagian masih bias dimanfaatkan sekalipun sedikit,
maka harta itu tidak boleh dijual. Namun, dalam keadaan darurat boleh dijual
demi memelihara tujuan wakaf itu sendiri.
· Apabila
harta wakaf berupa hewan, tetapi sudah tidak bias dimanfaatkan lagi lalu dijual
dan hasil penjualan tidak mencukupi untuk membeli hewan lain yang sama jenis
dan kualitasnya, maka boleh dibelikan hewan lain yang tidak sejenis dan tidak
sekualitas, sesuai dengan uang yang ada sehingga masih bias dimanfaatkan
penerima wakaf.
· Tidak
boleh memindahkan mesjid dan menukarnya dengan yang lain, dan tidak boleh juga
menjual pekarangan mesjid, kecuali apabila pekarangan dan mesjid tersebut tidak
bermanfaat lagi.
Dasar
pemikiran Ibn Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat
diperlukan, seperti contoh seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sebang
berjihad fisabilillah, setelah perang usai, kuda tersebut tidak diperlukan
lagi. Kondisi seprti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan
suatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan. Kedua, karena kepentingan maslahat yang lebih besar seperti masjid
dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat dijual untuk mambangun masjid baru
yang lebih luas dan lebih baik, hal ini, mengacu kepada tindakan Umar Bin al-
Khattab ketika ia memindahkan masjid Kufah dari tempat yang lama ketempat yang
baru. Usman kemudianm melakuakan tindakan yang sama terhadap masjid Nabawi.
Tindakan
tersebut ditempuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau
setidaknya penyia- nyiaan benda wakaf itu. Ini sejalan dengan kaidah[8]:
(Menghindarkan
kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil kemslahatan).
Ø Penyelesaian Perselisihan Benda
Wakaf
Pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1977
menegaskan sebagai berikut: “ Penyelesaian perselisiha sepanjang yang
menyangkut persoalan perwakafan tanah,
disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku”(Lihat juga pasal 226 kompilasi). Ini sejalan dengan
pasal 49 ayat (1) undang- undang nomor 7 Tahun 1989; “Pengadilan Agama bertugas
dan memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara- perkara ditingkat pertama
antara orang- orang yang beragama islam dibidang[9]:
a. Perkawinan
b. Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum islam,
c.
Wakaf dan sedekah
Penyelesaian perselisihan harta
wakaf
· Penyelesaian
perselisihan dan pidana
Dalam undang-undang No.41 Tahun
2004 tentang wakaf disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun jika masalah tidak selesai
melalui musyawarah maka akan ditempuh jalan melalui mediasi, arbitrase atau
pengadilan.
Penyelesaian perselisihan
kasus-kasus harta benda wakaf diajukan kepada Pengadilan Agama dimana harta
benda wakaf dan Nazhir itu berada, sesuai dengan peraturan undang-undang yang
berlaku. Sedangkan yang terkait dengan perbuatan hukum pidana diselesaikan
melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.
Selain masalah penyelesaian
sengketa, undang-undang wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum terhadap
penyimpangan benda wakaf dan pengelolaannya sebagai berikut :
a.
Bagi yang sengaja menjaminkan,
mengibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
b.
Bagi yang dengan sengaja merubah
peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipenjara paling lama 4(empat) tahun
dan /atau pidana denda paling banyak Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
c.
Bagi yang dengan sengaja menggunakan
atau mengambil fasilitas atau hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga
ratus juta rupiah).
Untuk
memaksimalkan peran Peradilan Agama, dalam kedudukannya Peradilan Agama harus
diperdayakan sebagai payung hukum bagi umat islam dalam menyelesaikan
kasus-kasus perdata dan pidana yang berkaitan dengan muamalat. Dengan adanya
ketentuan tersebut, maka pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah
ditentukan secara pasti, dimana penyimpanan terhadap ketentuan itu sudah dapat
dituntut sebagai tindak pidana. Berbeda dengan ketentuan pidana dalam berbagai
peraturan pidana lainnya yang selalu membedakan antara kejahatan dengan
pelanggaran, maka tindak pidana mengenai perwakafan tanah milik tidak
ditentukan apakah termasuk kejahatan atau pelanggaran.[10]
Ø Pengawasan Harta Wakaf
Dalam
pasal 13 PP nomor 28 Tahun 1977 dinyatakan[11];
“Pengawasan perwakafan
tanah milik dan tata caranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri Agama”. Selanjutnya menindaklanjuti pasal 13 tersebut Menteri
Agama melalui peraturan Nomor 1 Tahun 78 pasal 14 menegaskan: “ Pengawasan dan
bimbingan perwakafan tanah dilakuakn oleh unit- unit organisasi Departemen
Agama secara hierarkis sebagai diatur dalam Keputusan Menteri Agama tentang
susunan organisasi dan tata kerja departemen Agama”.
Secara
leibuh rinci, kompilasi menjelaskan masalah pengawasan ini dalam pasal 227:
Pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan bersama- sama oleh Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan, dan pengadilan Agama
yang mewilayahinya.
Apabila
bunyi pasal diatas difahami secara tekstual tentu akan segera dibentuk adanya
Majelis Ulama Kecamatan ditiap- tiap wilayah kecamatan, terutama wilayah yang
terdapat benda wakaf, karena dalam buku yang kami kutip, dimana penulis jika
tidak salah, lembaga Majelis Ulama Kecamatan belum jelas eksistensinya.
Termasuk
dalam cakupan tangguang jawab pengawasan adalah menanganai dan menindaklanjuti perwakafan yang dilakukan sebelum berlaku PP
Nomor 28 Tahun 1977 seperti disinggung dalam pasal 15 Peraturan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1978 dinyatakan:
1. Tanah
wakaf yang sudah terjadi sebelum berlakunya peraturan pemerintah pendaftarannya
dilakukan oleh Nadzir yang bersangkutan kepada KUA setempat.
2. Apabila
Nadzir yang bersngkutan tidak ada lagi maka wakif atau ahli warisnya, anak keturunan
nadzir atau anggota masyarakat yang mengetahuinya mendaftarkan kepada KUA
setempat.
3. Apabilah
ada tanah wakaf dan tidak ada yang mau mendaftarkannya maka kepala desa
berkewajiban mendaftarkannya kepada KUA setempat.
4. Pendaftaran
dimaksud pada ayat (1), (2), (3) pasal ini disertai:
a. Surat
keterangan tentang tanah atau surat keterangan kepala desa tentang perwakafan
tanah tersebut.
b. Dua
orang saksi ikrar wakaf atau dua orang saksi istifadhah (oarng yang mengetahui
atau mendengar tentang perwakafan tersebut)
Pengawasan harta wakaf
Selain pengawasan yang bersifat
umum, upaya pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan oleh pihak
pemerintah dan mesyarakat. Sebagaimana yang termuat dalam Bab VII Undang-undang
No.41 tahun 2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa mentri agama melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan
dan fungsi wakaf dengan mengikut sertakan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dengan
tetap memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas pembinaan,
mentri dan BWI dapat melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat, para
ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. sedangkan dalam
menjalankan pengawasan, mentri dapat menggunakan akuntan publik.
Agar pengelolaan wakaf dapat lebih
bias dipertanggung jawabkan oleh lembaga Nazhir yang ada kepada pemerintah dan
masyarakat umum diperlukan upaya perwujudan sebuah kondisi sebagai berikut [12]:
a.
Gerakan untuk mempelopori transparasi
dalam semua aspek kelembagaan Nazhir,baik dalam lingkup internal maupun
eksternal.
b.
Lembaga Nazhir harus mempelopori sistem public accountability, yaitu mendorong
terjadinya iklim akuntabilitas publik dalam pengelolaan harta wakaf.
c.
Lembaga Nazhir mempelopori gerakan yang aspiratif
, orang-orang yang terlibat dalam kelembagaan harus mendorong terjadinya sistem
social yang melibatkan partisipasi banyak masyarakat.
C. Penyelesaian Perselisihan Harta
Wakaf
Ø Penyelesaian Perselisihan
Pada pasal 12 PP Nomor 28 Tahun
1977 jo. Pasal 49 ayat (1) Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 seperti menegaskan
bahwa perselisihan harta wakaf, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat
yang mewilayahi benda wakaf tersebut. Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978 pasal 17 menyatakan:[13]
1
Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah
wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan, perkara tentang perwakafan tanah
menurut syari’at yang diantara lain mengenai:
a. Wakaf,
wakif, nadzir dan saksi
b. Bayyinah
(alat bukti administrasi tanah wakaf)
c.
Pengelola dan pemanfaatan hasil wakaf.
2
Pengadilan Agama dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal
ini9 berpedoman dalam tata cara penyelesaian perkara pada pengadilan Agama
Mengenai teknis dan tata cara
pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama, dilakukan menurut ketentuan yang
berlaku. Kemudian pasal 229 Kompilasi
menegaskan :” hakim dalam menyelesaikan perkara- perkara yang diajukan
kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh- sungguh nilai- nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, sehingga keputusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Ø Ketentuaan Pidana Dalam Perwakafan
Kompilasi tidak mengatur masalah
ketentuan pidana dalam perwakafan, namun
demikian, bukan karena kompilasi tidak setuju adanya ketentuan ini, akan tetapi
lebih karena posisi kompilasi adalah merupakan pedoman dalam perwakafan. Oleh
karena itu, apabila terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka
penyelesaiannya dapat dijaring melalui pasal 14 PP Nomor 28 Tahun 1977 dan
pasal 15:
Pasal 14 berbunyi:
Barang
siapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan- ketentuan sebagaimana
dimaksud pasal 5, pasal 6 ayat (3), pasasal 7 ayat (1) dan (2). Pasal 9, pasal
10, dan pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 3 (tiga)
bulan atau denda sebanyak- banyaknya rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15:
Apabila
perbuatan yang dimaksud dalam pasal 14 dilakuakn oleh atau atas nama badan
hukum maka ketentuan pidana dilakukan dan pidana setra dilakukan tata tertib
dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang member
perintah melakukan perbuatan tersebut atau bertindak sebagai pemimpin atau
penanggung jawab dalam perbuatan atau
kelalaian itu atau terhadap kedua- duanya.
Apabila diuraikan
muatan pasal- pasal yang apabila dilanggar dikenakan sanksi, adalah:
1.
Wakif yang mengikrarkan bendanya tidak
di ikrarkan secara tegas, dihadapan PPAIW kepada nadzir yang disaksikan dua
saksi.
2.
Nadzir tidak terdaftar di Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat.
3.
Nadzir tidak mengurus dan mengawasi
kekayaan wakaf dan hasilnya.
4.
Nadzir tidak membuat laporan secara
priodik.
5.
Wakif tidak dating di hadapan PPAIW
untuk ikrar wakaf.
Pelanggaran
diatas dilakukan oleh Wakif dan Nadzir dengan sanksi hukuman kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah). Selanjutnya jenis pelanggaran yang sanksi hukumannya dibebankan kepada
petugas atau pejabat adalah:
6.
PPAIW tidak mengajukan permohonan kepada
Bupati atau wakilkotamadya cq. Kepala Badan Pertahanan, untuk mendaftar
perwakafan tanah.
7.
Kepala Badan Pertahanan Kabupaten
Kotamadya atas nama Bupati/Walikota mencatat permohonan pencatatan tanah wakaf.
8.
Perubahan peruntukan wakaf tanpa
persetujuan Menteri Agama.
a.
Kesimpulan
Kompilasi hokum islam tidak
menjelaskan kembali harta wakaf begitu pula dalam hadis sahih mulsim, tidak
diketahui penjelasan diperbolehkannya penarikan kembali wakaf disamping itu
juga tidak bisa diwariskan dan tidak bisa dihibah, apabila hal ini terjadi
hukumannya adalah haram atas apa tindakan yang telah dilakukan.
Dalam hal ini seorang Wakif harus
mempertimbangkan kembali secara masak sebelum mewakafkan harta bendanya,
termasuk dalam memintak pertimbangan kepada ahli waris agar tidak terjadi
penyesalan atas tindakannya disamping itu pula agar menjadi tindakan tabarru’
yang murni mengharapkan ridho Allah SWT.
Perubahan, penyelesaian dan
pengawasan harta wakaf, dalam hal ini benda yang diwakafkan tidak dapat
dilakukan perubahan. Menurut Ulama mereka membedakan dua jenis benda wakaf,
yaitu: 1. Berbentuk masjid dan tidak berbentuk masjid, untuk yang tidak berbentuk
masjid dibedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Dalam pasal 12 PP Nomor 28 Tahun
1977 mengenai penyelesaian perselisihan benda wakaf yangmana selama menyangkut
masalah persoalan tanah disalurkan melalui Peradilan Agama sesuai dengan keterangan
Undang- undang.
Pengawasan harta wakaf, dalam pasal
13 PP nomor 28 Tahun 1977, pengawasan perwakafan tanah milik dan caranya
diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Kemudian dalam penyelesaian perselisihan dapat dilihat dalam pasal 17 peraturan
Mahkamah Agung No 1 Tahun 1978 pasal 17 menyatakan:
1.
Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah
wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan, perkara tentang perwakafan tanah
menurut syari’at yang diantara lain mengenai:
d. Wakaf,
wakif, nadzir dan saksi
e.
Bayyinah (alat bukti administrasi tanah
wakaf)
f.
Pengelola dan pemanfaatan hasil wakaf.
2.
Pengadilan Agama dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal
ini9 berpedoman dalam tata cara penyelesaian perkara pada pengadilan Agama
b. Saran
Dalam hal ini agar perwakafan dapat
berjalan dengan baik, haruslah terlebih dahulu diperhatian peraturan- peraturan
dalam terlaksanakannya perwakafan tersebut, harus nyata kebenrannya, dan tetap
mempertahankan keadilan.
Begitu pula Wakif, dalam mewakafkan
hartanya haruslah dipertimbangkan masak- masak dalam mewakafkan harta bendanya terlebih
dahulu musyawakan pula kepada ahli waris agar tidak terjadi penyesalan
dikemuadian harinya.
[1]
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), Cet. 1,
hal. 514
[2]
Ibid., hal. 515- 516
[3]
Halim Abdul, Hukum perwakafan di Indonesia (Ciputat : Ciputat press,2005), hal.
68
[4]
Ibid,. hal. 69-73
[5]
Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 517
[6]
Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 519
[7]
Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), Cet. 6, hal. 1909-1910
[8]
Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 519- 521
[9]
Ibid., hal. 521
[10]
Harahap Samuran, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Perbedaan Wakaf, 2007), Cet.
V, hal. 84-85
[11]
Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 522- 523
[12]
Harahap Samuran, Op, Cit, hal. 85- 87
[13]
Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 524- 527
0 komentar:
Posting Komentar