Minggu, 28 Oktober 2012

WAKAF



HUKUM ISLAM DI INDONESIA (III)
WAKAF

A.       Penarikan Kembali Harta Wakaf
Kompilasi Hukum islam tidak menjelaskan masalah penarikan kembali harta wakaf. Terkecuali hibah, dimana hibah tidak bisa ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya (pasal 212 KHI). Di dalam hadis sahih muslim, tidak diketahui penjelasan diperbolehkannya penarikan kembali wakaf. Terlebih- lebih dalam wakaf dimana Mayoritas Ulama berpendapat kepemilikan wakaf menjadi gugur dan beralih menjadi milik Allah kemudian diperkuat adanya Qarinah dalam hadis Umar Ibn Al- khattab tentang wakaf, bahwa harta wakaf  tidak bisa diperjual belikan, tidak bisa diwariskan dan tidak bisa pula dihibahkan[1].

Sementara dalam ketentuan tentanng hibah, Muslim meriwayatkan enam jalur hadis yang menegaskan bahwa rasulullah SAW. Mengibaratkan :



Perumpamaan orang yang menarik kembali sedekahnya dapat dibaca zakat, infaq, hibah, wasiat, dan wakaf adlah sepErti umpama anjing yang muntah- muntah, kemudian mengambil kembali muntahnya itu,  dan memakannya lagi (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu dengan mengiyaskan  tindakan wakaf dengan hibah, dapat diambil pemahaman bahwa menarik  kembali harta wakaf hukumnya haram. Hal ini karena harta benda yang sudah diwakafkan, tidak lagi menjadi haknya, tetapi menjadi hak milik mutlak Allah.

Dalam hal ini seorang wakif harus mempertimbangkan secara masak sebelum mewakafkan harta bendanya. Termasuk didalam memintak pertimbangan kepada ahli waris agar kelak dikemudian hari tidak timbul “penyesalan” akibat tindakannya itu. Wakaf sebagai tindakan tabarru’ yang murni  mengharapkan ridha Allah, hendaknya dilakukan setelah syarat- syarat terpenuhi, seperti telah memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, harta benda yang diwakafkan itu milik sempurna, dan dalam melakukan tindakannya itu benar- benar atas kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun, selain itu keterlibatan saksi dan petugas uang diserahi tugas untuk mewujudkan adanya tertib hukum dan administrasi disamping itu fungsi mereka secaara substansi untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan dari tujuan wakaf tersebut.

Dalam hal ini yang perlu juga diperhatikan yaitu penarikan kembali dalam arti apabila terjadi penyimpangan yang dilakukan  oleh Nadzir misalnya dapat dilakukan apabila wakif telah menentukan syarat tehadap pemanfaatan benda wakaf , jika hal tersebut nyata menyimpang dari tujuan dan syarat yang telah ditentukan, wakif yang menarik kembali untuk kemudian diwakafkan kembali guna tercapainya tujuan utama wakaf, namun disini penarikan kembali bukan dimilikinya untuk millik  pribadi. Dimana dalam Hadis Rasulullah diatas telah diisyaratkan sangat tegas menunnjukkan tindakan tindakan tidak terpujinya tindakan wakif menarik kembali wakafnya.[2]

Wakaf Dalam Hadist
Al-Qur’an menyebutkan secara umum, tetapi dalam hadis ada yang menyebutkan secara khusus dan umum. Hadis-hadis yang menyinggung dasar hukum kedua, disyariatkan wakaf ialah Al-Hadis. Jika masalah wakaf sekaligus menjadi dasar hukum wakaf, adalah hadis yang berkenaan dengan amal jariyah, seperti[3];
                “Dari Abi Hurairah semoga Allah meridhoinya, Nabi Saw. Bersabda;
“apabila mati seorang manusia (anak Adam), habislah amalnya terkecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendo’akan baginya”. (Al-Hadis R. Muslim).
                Walaupun secara umum disebutkan adalah amal jariah namun yang dimaksud disini termasuk wakaf. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan As-Syaukani dalam bukunya Nailul Authar, “para ulama menafsirkan sadaqah jariah yang dimaksud dalam hadis itu adalah wakaf”.
                Sayyid Sabiq juga sependapat dengan As-Syaukani bahwa yang dimaksud dalam hadis di atas adalah wakaf. “Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan wakaf dan menjadikannya perbuatan sunnat sebagai media pendekatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt.” Pendapat Sayyid Sabiq ini beliau kemukakan setelah menyebutkan hadis yang diriwayatkan Muslim tersebut.
                Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Jami’ al-Shahih Lil Bukhari. Ada enam hadis dianggap tidak berulang-ulang sebagai dasar hukum wakaf ini, berikut hadis-hadis tersebut[4]:
                Hadis pertama, hadis Shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
                “Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhoi keduanya. Ibnu Umar berkata , bahwa Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu ia datang kepada Nabi SAW. Untuk meminta petunjuk tentang tanah itu. Umar berkata : Ya Rasulullah, sesungguhnya saya dapat tanah di khaibar, saya belum pernah dapat harta di khaibar, saya belum pernah dapat harta yang lebih berharga menurut pandangan saya dari padanya bagaimana petunjuk Anda”. Rasulullah menjawab: “Kalau Anda mau tahan pokoknya dan Anda sedeqahkan hasilnya”. Ibnu Umar berkata :”Lalu Umar mensedeqahkan (mewakafkan). Bahwa pokonya tidak dijual, tidak diwariskannya dan tidak menghibahkannya. Maka ia mewakafkan kepada fakir, kepada keluarga yang dekat, kepada pembebasan budak, sabilillah, ibnu sabil, musafir dan kepada tamu. Dan tidak terhalang bagi yang mengurusinya memakan untuknya secara wajar dan member makan saudaranya.”
                Hadis kedua, yang tidak berulang itu ialah riwayat dari Usman Ibn Affan, yaitu:
                “Dari Usman, sesungguhnya Nabi telah datang ke Madinah, disana tidak ada air yang baik untuk diminum kecuali sumur Rumat, Nabi berkata: “Barang siapa yang memberi sumur Rumat menjadikan timbanya bersama-sama dengan timba kaum muslimin (men-sedeqahkan air sumur tersebut kepada kaum muslimin), maka ia akan masuk surga”. Kemudian Usman berkata ; “Kemudian saya membelinya dengan hartaku sendiri”.
                Hadis ketiga, dari riwayat Abi Hurairah, sebagai berikut:
                “Dia berkata: bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa menahan (ihtibasa) seekor kuda untuk keperluan kebaikan dijalan Allah dengan iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka semua tubuh kuda itu bersama dengan kotorannya akan ditimbang sebagai tibangan amal kebaikan dihari akhirat”.
                Hadis keempat. Dari Ibnu Abbas, yang berbunyi:
                “Dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah akan berangkat pergi haji. Lalu seorang istri berkata kepada suaminya: Berangkatlah saya untuk menunai-kan haji bersama Rasulullah. Suaminya menjawab: saya tidak mempunyai sesuatu untuk memberangkatkan engkau pergi haji. Istrinya menjawab; berangkatkanlah saya dengan unta engkau bersama sifulan. Suaminya menjawa: itu adalah penahanan harta dijalan Allah. Lalu suaminya dating kepada Rasulullah SAW. Maka Nabi bersabda: jika engkau memberangkatkannya pergi haji itupun sudah termasuk fi sabilillah, bahwa Rasulullah berkata tentang hak si Khalid: aku telah menahan baju besinya dan aku anggap hal itu termasuk fisabilillah”.
                Hadis kelima, adalah dari Anas sebagai berikut:
                “Dari Anas bahwa Abu Thalhah berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya Allah telah berfirman: kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian dari harta yang kamu cintai. Sesungguhnya harta yang paling saya senangi ialah (kebun) di Baihura! Harta itu ku jadikan sedeqah untuk Allah. Tempatkanlah Ya Rasulullah menurut apa yang telah ditunjukkan Allah kepada Anda. Rasulullah bersabda: Bakh! Bakh! Itu harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar dan aku telah ditunjukkan untuk kau sedeqahkan harta itu kepada familimu terdekat. Abu Thalhah berkata: saya akan melaksanakan ya Rasulullah. Kemudian Abu Thalhah membagi-bagikan hartanya itu kepada kerabatnya dan keponakannya”. (Muttafaqun “alaih).”
                Hadis keenam, hadis dari Anas tentang pembangunan mesjid, hadis tersebut adalah:
                “Dari Anas ra. Anas berkata diwaktu Rasulullah Saw. Sampai di Madinah dan ketika Itu Nabi Saw. Menyuruh membangun mejid, lalu Rasulullah Saw. Bersabda: “Hai Bani Najjar berikanlah kebunmu ini untukku untuk pembangunan mesjid ini. Mereka menjawab: Demi Allah tidak akan kami tuntut harganya, kecuali kepada Allah Swt. (pahala). Maka Rasulullah mengambil tanah tersebut (kebun) dan lalu membangun mesjid.”
                Riwayat lain disebutkan bahwa Rasul bersabda: beri harga dinding=dindingmu. Mereka menjawab : kami tidak meminta harganya, melainkan kepada Allah Azza Wajalla.
                Dari enam hadis dikemukakan, tampak bahwa Umar Ibn Khattab telah menginterprestasikannya dan melaksanakan dengan perbuatan sendiri, dengan mewakafkan tanah yang disukainya, yakni Khaibar. Dan menurut suatu riwayat, wakaf yang dilaksanakan Umar Ibn Khattab merupakan Wakaf yang petama kali dilakukan. Kemudian hadis tersebut biasa dijadikan dasar hukum lembaga perwakafan.
                Dari hadits Ibn Umar itu, ada beberapa garisan penting mengenai aturan dalam berwakaf, yaitu:
                Pertama, harta wakaf itu tidak dialihkan kepemilikannya kepada orang lain baik dengan cara menjualnya, mewariskan atau menghibahkannya. Kedua, harta wakaf itu digunakan untuk amal kebajiakn. Ketiga, harta wakaf dapat dipelihara atau dikelola oleh orang atau badan hukum tertentu, di Indonesia disebut Nadzir. Keempat, bagi pengelola harta wakaf dapat mengambil sebahagian harta wakaf untuk keperluan dalam mengurusnya asal tidak berlebih-lebihan. Kelima, harta yang akan diwakafkan itu hendaklah yang tahan lama atau dapat diambil manfaatnya dalam waktu lama.
                Masing-masing hadits tersebut berisikan aturan dalam masalah wakaf, seperti pemahaman hadits kedua yang membolehkan untuk menikmati harta yang diwakafkan.
Oleh Mazhab Dhahiri dan Abu Yusuf dijadikan alas an untuk membolehkan wakaf pada keluarga dan diri sendiri. Hadits ketiga, mengisyaratkan bahwa harta-harta yang mendatangkan manfaat dapat dijadikan harta wakaf.
                Sedangkan hadits keempat, berbuat baik kepada keluarga dengan membiayai pergi haji merupakan suatu amal. Mengenai unta yang ditarik sementara dari tugas usahanyaguna keperluan haji isterinya, dianggap juga sebagai habbs (wakaf). Namun Nabi tidak mempertegas  hal itu sebagai wakaf. Maka timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh, apakah pemberian sementara juga tersmasuk wakaf atau tidak. As-Syafi’I dan Aahmad tidak membenarkan sebagai wakaf. Pada hadis kelima sebagai dasar bolehnya mewakafkan kepada ahli family (wakaf ahli). Sementara hadits keenam, mengandung makna mewakafkan sebahagian-sebahagian harta merupakan kebolehan, seperti mewakafkan dinding mesjid dan lain-lainya.

B.       Perubahan, Penyelesaian Dan Pengawasan Harta Wakaf
Ø  Perubahan Benda Wakaf
Pada dasarnya, terhadap benda yang sudah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam sabda Rasulullah SAW. Telah dijelaskan, bahwa benda wakaf tidak bisa diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan. Pada Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dijelaskan[5]:
1.       Tanah yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukkan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf
2.       Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap  hal- hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
a.       karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
b.       Karena kepentingan umum.
3.       Perubahan satus tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tertsebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada bupati/ walikota Madya kepada Daerah,cq. Kepala sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut

Secara lebih rinci diatur dalam Peratuaran menteri Agama nomor 1 Tahun 1978 yang mendapatkan peraturan pelaksanaan PP nomor 28 tahun 1977 pasal 12:
1.       Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf, Nadzir berkewajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang melalui Kepala KUA dan Kepala Kandepag secara hierarkis dengan menyebut alasannya.
2.       Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan permohonan tersebut pada ayat (1) secara hierarkis kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala bidang dengan disertai pertimbangan
3.       Kepala kanwil Depag cq. Kepala bidang diberi wewenang untuk memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan penggunaan tanah wakaf.
Pasal 13 berbunyi :
1.       Dalam hal ada permohonan perubahan satus tanah wakaf Kepala Kanwil Depag berkewajiban meneruskan kepada Menteri Agama cq. Direktur Jenderal bimbingan masyarakat Islam dengan disertai pertimbangan.
2.       Direktur jenderal bimbingan masyarakat islam diberi wewenang untuk member persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan status tanah wakaf.
3.       Perubahan status tanah wakaf dapat diizinkan apabila diberikan penggantian yang sekurang- kurangnya senilai dan seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf.

Menurut para ulama, mereka membedakan jenis benda wakaf pada dua macam, yaitu berbentuk masjid dan bukan berbentuk masjid. Yang bukan masjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Benda wakaf yang berbentu masjid selain Ibn Taimiyah dan sebagian Hanabilah, sepakat melarang menukar atau menjualnya. Sementara benda wakaf yang tidak berupa masjid, selain Mazhab Syafi’iyah membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar- benar sangat diperlukan. Namun mereka berbeda dalam menetukan persyaratan.

ü  Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal ;
1)       Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika mewakafkannya,
2)       Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankannya, dan
3)       Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.

ü  Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat yaitu;
1)       Wakif ketika ikrar mengisyaratkan kebolehan ditukar atau dijual,
2)       Benda wakaf itu dengan berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula diwakafkannya,
3)       Apabila benda wakaf pengganti dibutuhkan untuk kepntingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya, dan sebagainya[6].

ü    Pendapat ulama mashab syafi’i dalam penjualan harta wakaf adalah apabila harta wakaf itu berupa mesjid, maka tidak boleh dijual dan tidak boleh dikembalikan kepada waqif atau siapapun, walau mesjid itu telah rusak dan tidak dapat digunakan untuk solat. Alasanya karena harta itu tetap sebagai harta Allah SWT. Akan tetapi pihak penguasa boleh membangun mesjid lain, jika para penguasa menganggap hal itu yang terbaik. Jika tidak maka kekayaan mesjid itu menjadi amanah ditangan pemerintah. Apabila mesjid itu rusak dan dikawatirkan akan runtuh, maka pihak penguasa harus memperbaikinnya. Apabila harta wakaf berupa hewan atau buah-buahan dan diduga keras pemanfaatannya akan hilang, maka boleh dijual dan hasilnya diberikan kepada kerabal waqif yang miskin.apabila tidak ada maka diberikan kepada fakir miskin lainnya atau untuk kemaslahatan umat islam setempat.
ü   Pendapat ulama mashab Hambali tentang penjualan harta wakaf adalah sebagai berikut [7]:
·      Apabila manfaat harta wakaf telah hilang, maka harta wakaf tersebut boleh dijual
·      Apabila harta wakaf telah dijual, maka hasil penjualan boleh dibelikan apa saja, asalkan harta yang dibeli tersebut bermanfaat bagi kepantingan umum.
·      Apabila pemanfaatan harta wakaf sebagian masih bias dimanfaatkan sekalipun sedikit, maka harta itu tidak boleh dijual. Namun, dalam keadaan darurat boleh dijual demi memelihara tujuan wakaf itu sendiri.
·      Apabila harta wakaf berupa hewan, tetapi sudah tidak bias dimanfaatkan lagi lalu dijual dan hasil penjualan tidak mencukupi untuk membeli hewan lain yang sama jenis dan kualitasnya, maka boleh dibelikan hewan lain yang tidak sejenis dan tidak sekualitas, sesuai dengan uang yang ada sehingga masih bias dimanfaatkan penerima wakaf.
·      Tidak boleh memindahkan mesjid dan menukarnya dengan yang lain, dan tidak boleh juga menjual pekarangan mesjid, kecuali apabila pekarangan dan mesjid tersebut tidak bermanfaat lagi.
Dasar pemikiran Ibn Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat diperlukan, seperti contoh seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sebang berjihad fisabilillah, setelah perang usai, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Kondisi seprti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan suatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan. Kedua, karena kepentingan maslahat yang lebih besar seperti masjid dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat dijual untuk mambangun masjid baru yang lebih luas dan lebih baik, hal ini, mengacu kepada tindakan Umar Bin al- Khattab ketika ia memindahkan masjid Kufah dari tempat yang lama ketempat yang baru. Usman kemudianm melakuakan tindakan yang sama terhadap masjid Nabawi.
Tindakan tersebut ditempuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia- nyiaan benda wakaf itu. Ini sejalan dengan kaidah[8]:


(Menghindarkan kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil kemslahatan).

Ø  Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1977 menegaskan sebagai berikut: “ Penyelesaian perselisiha sepanjang yang menyangkut persoalan  perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku”(Lihat juga pasal 226 kompilasi). Ini sejalan dengan pasal 49 ayat (1) undang- undang nomor 7 Tahun 1989; “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara- perkara ditingkat pertama antara orang- orang yang beragama islam dibidang[9]:
a.       Perkawinan
b.       Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum islam,
c.        Wakaf dan sedekah

Penyelesaian perselisihan harta wakaf
·      Penyelesaian perselisihan dan pidana
Dalam undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun jika masalah tidak selesai melalui musyawarah maka akan ditempuh jalan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.
Penyelesaian perselisihan kasus-kasus harta benda wakaf diajukan kepada Pengadilan Agama dimana harta benda wakaf dan Nazhir itu berada, sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku. Sedangkan yang terkait dengan perbuatan hukum pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.
Selain masalah penyelesaian sengketa, undang-undang wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum terhadap penyimpangan benda wakaf dan pengelolaannya sebagai berikut :
a.                   Bagi yang sengaja menjaminkan, mengibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
b.                   Bagi yang dengan sengaja merubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipenjara paling lama 4(empat) tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
c.                    Bagi yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atau hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
Untuk memaksimalkan peran Peradilan Agama, dalam kedudukannya Peradilan Agama harus diperdayakan sebagai payung hukum bagi umat islam dalam menyelesaikan kasus-kasus perdata dan pidana yang berkaitan dengan muamalat. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah ditentukan secara pasti, dimana penyimpanan terhadap ketentuan itu sudah dapat dituntut sebagai tindak pidana. Berbeda dengan ketentuan pidana dalam berbagai peraturan pidana lainnya yang selalu membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran, maka tindak pidana mengenai perwakafan tanah milik tidak ditentukan apakah termasuk kejahatan atau pelanggaran.[10]
Ø  Pengawasan Harta Wakaf

Dalam pasal 13 PP nomor 28 Tahun 1977 dinyatakan[11];
“Pengawasan perwakafan tanah milik dan tata caranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama”. Selanjutnya menindaklanjuti pasal 13 tersebut Menteri Agama melalui peraturan Nomor 1 Tahun 78 pasal 14 menegaskan: “ Pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah dilakuakn oleh unit- unit organisasi Departemen Agama secara hierarkis sebagai diatur dalam Keputusan Menteri Agama tentang susunan organisasi dan tata kerja departemen Agama”.



Secara leibuh rinci, kompilasi menjelaskan masalah pengawasan ini dalam pasal 227:
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan bersama- sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan, dan pengadilan Agama yang mewilayahinya.
Apabila bunyi pasal diatas difahami secara tekstual tentu akan segera dibentuk adanya Majelis Ulama Kecamatan ditiap- tiap wilayah kecamatan, terutama wilayah yang terdapat benda wakaf, karena dalam buku yang kami kutip, dimana penulis jika tidak salah, lembaga Majelis Ulama Kecamatan belum jelas eksistensinya.
Termasuk dalam cakupan tangguang jawab pengawasan adalah menanganai dan menindaklanjuti  perwakafan yang dilakukan sebelum berlaku PP Nomor 28 Tahun 1977 seperti disinggung dalam pasal 15 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 dinyatakan:
1.       Tanah wakaf yang sudah terjadi sebelum berlakunya peraturan pemerintah pendaftarannya dilakukan oleh Nadzir yang bersangkutan kepada KUA setempat.
2.       Apabila Nadzir yang bersngkutan tidak ada lagi maka wakif atau ahli warisnya, anak keturunan nadzir atau anggota masyarakat yang mengetahuinya mendaftarkan kepada KUA setempat.
3.       Apabilah ada tanah wakaf dan tidak ada yang mau mendaftarkannya maka kepala desa berkewajiban mendaftarkannya kepada KUA setempat.
4.       Pendaftaran dimaksud pada ayat (1), (2), (3) pasal ini disertai:
a.       Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan kepala desa tentang perwakafan tanah tersebut.
b.       Dua orang saksi ikrar wakaf atau dua orang saksi istifadhah (oarng yang mengetahui atau mendengar tentang perwakafan tersebut)

Pengawasan harta wakaf
Selain pengawasan yang bersifat umum, upaya pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan oleh pihak pemerintah dan mesyarakat. Sebagaimana yang termuat dalam Bab VII Undang-undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa mentri agama melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf dengan mengikut sertakan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dengan tetap memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas pembinaan, mentri dan BWI dapat melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. sedangkan dalam menjalankan pengawasan, mentri dapat menggunakan akuntan publik.
Agar pengelolaan wakaf dapat lebih bias dipertanggung jawabkan oleh lembaga Nazhir yang ada kepada pemerintah dan masyarakat umum diperlukan upaya perwujudan sebuah kondisi sebagai berikut [12]:
a.                   Gerakan untuk mempelopori transparasi dalam semua aspek kelembagaan Nazhir,baik dalam lingkup internal maupun eksternal.
b.                   Lembaga Nazhir harus mempelopori sistem public accountability, yaitu mendorong terjadinya iklim akuntabilitas publik dalam pengelolaan harta wakaf.
c.                    Lembaga Nazhir mempelopori gerakan yang aspiratif , orang-orang yang terlibat dalam kelembagaan harus mendorong terjadinya sistem social yang melibatkan partisipasi banyak masyarakat.

C.      Penyelesaian Perselisihan Harta Wakaf
Ø  Penyelesaian Perselisihan
Pada pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1977 jo. Pasal 49 ayat (1) Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 seperti menegaskan bahwa perselisihan harta wakaf, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat yang mewilayahi benda wakaf tersebut. Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 17 menyatakan:[13]
                       1          Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan, perkara tentang perwakafan tanah menurut syari’at yang diantara lain mengenai:
a.       Wakaf, wakif, nadzir dan saksi
b.       Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf)
c.        Pengelola dan pemanfaatan hasil wakaf.
                       2          Pengadilan Agama  dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal ini9 berpedoman dalam tata cara penyelesaian perkara pada pengadilan Agama
Mengenai teknis dan tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama, dilakukan menurut ketentuan yang berlaku. Kemudian pasal 229  Kompilasi menegaskan :” hakim dalam menyelesaikan perkara- perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh- sungguh nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga keputusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Ø  Ketentuaan Pidana Dalam Perwakafan
Kompilasi tidak mengatur masalah ketentuan pidana  dalam perwakafan, namun demikian, bukan karena kompilasi tidak setuju adanya ketentuan ini, akan tetapi lebih karena posisi kompilasi adalah merupakan pedoman dalam perwakafan. Oleh karena itu, apabila terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka penyelesaiannya dapat dijaring melalui pasal 14 PP Nomor 28 Tahun 1977 dan pasal 15:
Pasal 14 berbunyi:
Barang siapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan- ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 5, pasal 6 ayat (3), pasasal 7 ayat (1) dan (2). Pasal 9, pasal 10, dan pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Pasal 15:
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam pasal 14 dilakuakn oleh atau atas nama badan hukum maka ketentuan pidana dilakukan dan pidana setra dilakukan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang member perintah melakukan perbuatan tersebut atau bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab  dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap kedua- duanya.
Apabila diuraikan muatan pasal- pasal yang apabila dilanggar dikenakan sanksi, adalah:
1.       Wakif yang mengikrarkan bendanya tidak di ikrarkan secara tegas, dihadapan PPAIW kepada nadzir yang disaksikan dua saksi.
2.       Nadzir tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
3.       Nadzir tidak mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf dan hasilnya.
4.       Nadzir tidak membuat laporan secara priodik.
5.       Wakif tidak dating di hadapan PPAIW untuk ikrar wakaf.


Pelanggaran diatas dilakukan oleh Wakif dan Nadzir dengan sanksi hukuman kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Selanjutnya jenis pelanggaran yang sanksi hukumannya dibebankan kepada petugas atau pejabat adalah:
6.       PPAIW tidak mengajukan permohonan kepada Bupati atau wakilkotamadya cq. Kepala Badan Pertahanan, untuk mendaftar perwakafan tanah.
7.       Kepala Badan Pertahanan Kabupaten Kotamadya atas nama Bupati/Walikota mencatat permohonan pencatatan tanah wakaf.
8.       Perubahan peruntukan wakaf tanpa persetujuan Menteri Agama.


a.       Kesimpulan
Kompilasi hokum islam tidak menjelaskan kembali harta wakaf begitu pula dalam hadis sahih mulsim, tidak diketahui penjelasan diperbolehkannya penarikan kembali wakaf disamping itu juga tidak bisa diwariskan dan tidak bisa dihibah, apabila hal ini terjadi hukumannya adalah haram atas apa tindakan yang telah dilakukan.
Dalam hal ini seorang Wakif harus mempertimbangkan kembali secara masak sebelum mewakafkan harta bendanya, termasuk dalam memintak pertimbangan kepada ahli waris agar tidak terjadi penyesalan atas tindakannya disamping itu pula agar menjadi tindakan tabarru’ yang murni mengharapkan ridho Allah SWT.
Perubahan, penyelesaian dan pengawasan harta wakaf, dalam hal ini benda yang diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan. Menurut Ulama mereka membedakan dua jenis benda wakaf, yaitu: 1. Berbentuk masjid dan tidak berbentuk masjid, untuk yang tidak berbentuk masjid dibedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Dalam pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1977 mengenai penyelesaian perselisihan benda wakaf yangmana selama menyangkut masalah persoalan tanah disalurkan melalui Peradilan Agama sesuai dengan keterangan Undang- undang.
Pengawasan harta wakaf, dalam pasal 13 PP nomor 28 Tahun 1977, pengawasan perwakafan tanah milik dan caranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Mahkamah Agung. Kemudian dalam penyelesaian perselisihan dapat dilihat dalam pasal 17 peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1978 pasal 17 menyatakan:
1.       Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan, perkara tentang perwakafan tanah menurut syari’at yang diantara lain mengenai:
d.       Wakaf, wakif, nadzir dan saksi
e.        Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf)
f.        Pengelola dan pemanfaatan hasil wakaf.
2.       Pengadilan Agama  dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal ini9 berpedoman dalam tata cara penyelesaian perkara pada pengadilan Agama
b.       Saran
Dalam hal ini agar perwakafan dapat berjalan dengan baik, haruslah terlebih dahulu diperhatian peraturan- peraturan dalam terlaksanakannya perwakafan tersebut, harus nyata kebenrannya, dan  tetap  mempertahankan keadilan.
Begitu pula Wakif, dalam mewakafkan hartanya haruslah dipertimbangkan masak- masak dalam mewakafkan harta bendanya terlebih dahulu musyawakan pula kepada ahli waris agar tidak terjadi penyesalan dikemuadian harinya.


[1] Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), Cet. 1, hal. 514
[2] Ibid., hal. 515- 516
[3] Halim Abdul, Hukum perwakafan di Indonesia (Ciputat : Ciputat press,2005), hal. 68
[4] Ibid,. hal. 69-73
[5] Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 517
[6] Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 519
[7] Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. 6, hal. 1909-1910
[8] Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 519- 521
[9] Ibid., hal. 521
[10] Harahap Samuran, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Perbedaan Wakaf, 2007), Cet. V, hal. 84-85
[11] Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 522- 523
[12] Harahap Samuran, Op, Cit, hal. 85- 87
[13] Rofiq Ahmad, Op, Cit., hal. 524- 527

0 komentar:

Posting Komentar