PENDAHULUAN
Hakikat Qawaid Fiqhiyah. Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada
ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu
syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada
suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu
kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut.
Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang
bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
Dalam menerapkan kaidah fikih yang perlu diperhatikan agar tepat
penggunaanya yang pertama adalah:
1.
Kehati-hatian dalam
penggunaanya
2.
Ketelitian dalam mengamati
masalah-masalah yang ada diluar kaidah yang digunakan dengan kata lain meneliti
masalah-masalah kekecualian dari kaidah tersebut.
3.
Memerhatikan sejauh mana
kaidah yang digunakan berhubungan dengan kaidah lain yang memiliki ruang
lingkup yang lebih luas.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang penerapan kaidah
fikih tentang kehati-hatian dalam penerapan kaidah fikih dan meneliti
masalah-masalah fikih yang merupakan kekecualian yang ada diluar kaidah fikih
serta korelasi antara kaidah fikih.
PEMBAHASAN
Penerapan kaidah
fikih
A.
Kehati-hatian dalam
menerapkan kaidah
Kehati-hatian dalam menggunakan kaidah diperlukan agar antar
masalah yang ingin dipecahkan dengan kaidah yang digunakan bisa tepat. Oleh
karena itu masalah harus diteliti terlebih dahulu setidaknya dalam lima aspek yaitu[1]:
1.
Ruang lingkup masalah yang
dihadapi,apakah masalah tersebut dalam bidang ibadah, munakahat, muamalah,
jinayah, syasah, atau peradilan, atau bisa juga menyangkut semua bidang
terebut.
2.
Apakah masalah yang
dihadapi tersebut substansinya perubahan hukum atau bukan.
3.
Apakah measalah tersebut
berhubungan dengan masalah perioritas kerena adanya benturan atau pertentangan
kepentingan,sehingga diperlukan pilihan-pilihan mana yang akan diambil.
4.
Apakah masalah tersebut
ruang lingkupnya sangat kecil yang hanya berhubungan dengan bab-bab tertentu
dari bidang hukum islam sehingga cukup digunakan al-qawa’id al-tafshiliyah atau dhabith
atau mulhaq-nya.
5.
Hubungan masalah yang akan
dipecahkan tersebut dengan teori-teori fiqih dalam arti teori materi fikih,
misalanya apakah masalah tersebut berhubungan dengan teori-teori fiqh tentang
akad (transaksi)atau tentang kepemilikan, tentang subjek hukum baik pribadi
atau badan hukum tentang hak dan lain-lain.
Contoh
fatwa dewan syariah nasional (DSN) No.19/DSN MUI/IX/2000 tentang al-qardh yaitu
suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan dana yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah (LKS) pada
waktu yang telah disepakati. Dalam fatwa tersebut setelah menggunakan
dasar-dasar al-quran dan hadits juga menggunakan kaidah fikih yang memang ruang
lingkupnya khusus tentang utang piutang, yaitu :
“setiap utang piutang yang mendatangkan
manfaat (bagi yang berpiutang, muqridh) adalah riba”
Dari
uraian diatas mengandung dua hal yaitu, pertama meneliti dan mengidentifikasi
masalah sebagai pertimbangan keadaan dan meneliti ayat-ayat, hadits dan kaidah
fikih sebagai pertimbangan hukum.
Setelah menggunakan kaidah fikih
tersebut, menghasilkan suatu hukum ijtihadiyah atau hukum fikih. Kemudian hasil
tersebut harus diukur oleh dalil-dalil killi baik berupa al-quran, hadits,
semangad ajaran, dan kaidah-kaidah yang asasi. Selain itu, hasil tersebut tidak
boleh bertentangan dengan dasar dan prinsip hukum Islam.
Apabila setelah diukur dari sisi
kesesuaiannya dengan dalil-dalil killi dan tidak bertentangan dengan dasar dan
prinsip hukum Islam, maka masalah tersebut telah terselesaikan dengan hasil
ijtihad.
Ilustrasi
proses dalam kehati-hatian penerapan kaidah :
|
|
|
|
|
B.
Meneliti masalah-masalah
fiqih yang merupakan kekecualian[2]
Dalam menerapkan kaidah fikih harus
memperhatikan masalah-masalah furu’
atau materi-materi fikih yang ada diluar kaidah fikih yang digunakan. Karena
setiap kaidah fikih memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah
tertentu. Dengan demikin kita akan terhindar dari kesalahan memasukan masalah
yang akan dijawab atau dipecahkan kedalam kaidah, yang sesungguhnya masalah
tersebut merupakan kekecualian dari kaidah yang digunakan.
Makin luas ruang lingkup suatu kaidah
maka makin sedikit kekecualiannya, sedangkan makin sempit ruang lingkup suatu
kaidah maka makin banyak kekecualiannya. Disinilah pentingnya membagi kaidah
fikih kedalam berbagai ruang lingkup secara berjenjang dari yang paling luas
sampai kepada yang paling sempit. Muhammad al-Ruki menjelaskan kaidah fikih
secara berjenjang dengan memeliti kitab al-Isyraf
‘ala masa’il al-khilaf, dalam kitab tersebut terdapat 81 kaidah fikih yang
terdiri dari kaidah asasi dan cabang-cabangnya dengan 53 kaidah, kemudian
kaidah dibidang fikih ibadah yang terdiri dari 8 kaidah, dibidang muamalah 15
kaidah, dan bidang lainnya terdiri dari 5 kaidah.
Imam Tajjuddin al-subki dalam kitabnya
al-Asybah wa al nazhair, membagi
kaidah secara berjenjang mulai dari kaidah asasi yang lima kemudian
kaidah-kaidah yang umum yang terdiri dari 27 kaidah, selanjutnya kaidah khusus
yang terdiri dari 185 kaidah yang dibagi dalam fikih ibadah, muamalah,
pengakuan, peradilan, dan munakahat.
Kaidah fikih dalam bidang hukum
tertentu akan mempermudah kita untuk memecahkan masalah yang dihadapi contohnya
apabila kita menemukan masalah dalam bidang muamalah maka yang harus kita
lakukan adalah
1.
cari dahulu kaidah fikih
dalam bidang tersebut apabila tidak ditemukan
2.
cari pada kaidah yang lebih umum, apabila
tidak ditemukan juga
3.
Diperlukan memunculkan
kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-kaidah yang ada.
4.
Atau kembali kepada kaidah
“meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan”.
Langkah-langkah ini perlu diambil karena untuk mengetahui
kekecualian dari kaidah dan menghindari resiko kesalahan menggunakan kaidah
yang terlalu besar untuk masalah yang ruang lingkupnya kecil atau sebaliknya.
Contoh yang banyak dikeritisi adalah kaidah :
“suatu hasil ijtihad tidak
bisa dihapuskan oleh ijtihad lain”
Diantara kritik terhadap kaidah ini
adalah bisa saja terjadi hasil ijtihad dihapus oleh ijtihad lain ynag dianggap
lebih benar, seperti qaul qadim dan qaul jadid Imam al-Syafi’i. selain itu
banyak ijtihad lain yang dihapus oleh ijtihad lainnya pada kenyataanya.
Baik Imam jalaluddin al-suyuti dari
mashab al-Syafi’I maupun Ibnu Nuzaim dari mashab Hanafi, memasukan kaidah
tersebut kedalam kaidah kulliyah yang
bisa dikembalikan kepadanya banyak sekali masalah-masalah fikih, artinya tidak
termasuk kedalam kaidah yang diperselisihkan, tetapi termasuk kedalam kaidah
yang disepakati oleh ulama-ulama dibidang fikih.
Pokok masalahnya terletak pada
kesalahan memahami masalah tersebut. Yang dimaksud kaidah diatas adalah “hasil ijtihad yang telah lalu tidak dihapus
hukumnya dengan hasil ijtihad yang dating kemudian” hal ini berarti adalah
sah segala perbuatan yang telah dilakuakn dengan dasar ijtihad yang pertama,
tetapi kemudian dengan pentarjihan, muncul sukum hasil ijtihad yang baru dan
diterapkan. Dengan demikian hasil ijtihad yang lalu berlaku pada masa yang lalu
dan ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang sampai adanya ijtihad yang
baru lagi, artinya pula hasil ijtihad yang sekarang tidak berlaku surut kepada
masa yang lalu, sehingga menghapuskan hasil ijtihad yang telah lalu.
C.
Korelasi Antara Kaidah
Fikih[3]
Dalam penerapan kaidah fikih perlu
juga diperhatikan keseimbangan antara satu kaidah yang digunakan untuk memecah
masalah dengan kaidah lain yang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya.
Sebagai salah satu contoh kecil
misalnya, seseorang meminjam uang dengan dijanjikan pada waktu dibayar harus
ada tambahanya, atau meminjam dengan renternir. Pendekatan kaidah fikih dalam
kasus ini cukup dengan menggunakan kaidah tafshiliyah, yaitu:
“setiap
hutang-piutang yang mendatangkan manfaat(bagi yang mengutangkan) adalah riba”
Dengan menggunakan kaidah tersebut
jelas bahwa meminjam uang dari renternir hukumnya haram karena termasuk riba.
Kaidah tersebut jelas pula ada dalam bidang fikih muamalah dan saling
berhubungan, tetapi bukan dari sisi kebolehannya muamalah, melaikan dari sisi
ada bukti keharamannya yaitu riba, yaitu kaidah :
“hukum
asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkanya”
Jadi haramnya meminjam dari renternir
merupakan kekecualian dari hukum asal kerena ada bukti tentang riba. Kaidah
diatas termasuk kaidah yang khusus. Apabila kaidah tersebut dihubungkan dengan
kaidah yang lebih luas maka kaidah tersebut berhubungan dengan
“setiap
syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”
Renternir mensyaratkan riba, maka
syarat tersebut adalah batal. Bagi orang yang mengatakan bahwa riba itu ada
untungnya atau manfaatnya, tetapi jelas riba diharamkan yang berarti mafsadah
bagi kehidupan, hal ini terkena oleh kaidah:
“menolak
mafsadah harus didahulukan dari pada meraih maslahat”
Kedua kaidah tersebut apabila
dihubungkan dengan kaidah yang asasi merupakan bagian daari kaidah:
“segala
kemudaratan harus dihilangkan”
Terakhir, kaidah-kaidah tersebut
berhubungn dengan kaidah inti, yaitu:
“meraih
maslahat dan menolak mafsadah”
Maka dalam contoh kasus tersebut,
perbuatanya adalah haramkarena membawa mafsadah sedangkan mafsadah harus
ditolak. Maka jelas terlihat keseimbangan satu kaidah dengan kaidah lain. Hal
ini berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah cukup akurat digunakan dalam
memecahkan masalah yang ada dimasyarakat.
KESIMPULAN
Kehati-hatian dalam menerapkan kaidah
dalam suatu masalah harus diteliti dahulu dalam lima aspek
1.
Ruang lingkup masalah yang
dihadapi
2.
Substansi dari masalah
tersebut
3.
Apakah masalah tersebut
berhubungan dengan masalah prioritas
4.
Apakah masalah tersebut
ruang lingkupnya sangat kecil
5.
Hubunganmasalah yang akan
dipecahkan tersebut dengan teori-teori fikih.
Dalam menerapkan kaidah fikih harus
memperhatikan masalah-masalah furu’
atau materi-materi fikih yang ada diluar kaidah fikih yang digunakan. Karena
setiap kaidah fikih memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah
tertentu. apabila kita menemukan masalah maka yang harus kita lakukan adalah:
1.
cari dahulu kaidah fikih
dalam bidang tersebut apabila tidak ditemukan
2.
cari pada kaidah yang lebih umum, apabila
tidak ditemukan juga
3.
Diperlukan memunculkan
kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-kaidah yang ada.
4.
Atau kembali kepada kaidah
“meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan”.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli A, Kaidah-kaidah
fikih, Jakarta: Kencana,2010.
MAKALAH
Kaidah fikih
(kehati-hatian dalam menerapkan kaidah dan meneliti masalah
fikih yang merupakan kekecualian serta korelasi antara kaidah fikih)
Dosen pembimbing: Oloan Muda,LC.MA.
Disusun oleh:
Ansi 1062015
Nurafni 1062018
Umar aliansyah 1062036
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (PA)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
2012
0 komentar:
Posting Komentar