Minggu, 28 Oktober 2012

HUKUM ACARA PERDATA



MAKALAH
HUKUM ACARA PERDATA
(Pemanggilan,perkara gugur dan perkara verstek)

DI SUSUN OLEH:
1.      Lian pebriani                (1062071)
2.      Nurafni                         (1062018)
3.      Rahma gemilang          (1062073)
4.      Resi marisa                   (1062088)
DOSEN PEMBIMBING  :
                                                           
                                                JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (PA)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)CURUP
2012


KATA PENGANTAR
Puji sukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,karena dengan rahmatnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kulya Hukum Acara Perdata tentang PEMANGGILAN,PERKARA GUGUR DAN PERKARA VERSTEK.
Makalah ini berisikan tentang pemanggilan,perkara gugur dan perkara verstek dalam hukum acara perdata.kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak mendapat kekurangan dan kesalahan,sebelumnya kami ucapka terima kasih apabila pembaca berkenan member kritik dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan makalah selanjutnya mudah-mudahan makalah ini dapat menarik perhatian para pembaca dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Curup,   oktober 2012
Tim penulis









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Perlu kita ingat  bahwa di dalam pemanggilan dan pemberitahuan merupakan awal proses pemeriksaan persidangan pada tingkat pertama di PN, tingkat banding  di PT dan tingkat kasasi di MA.Sehubungan dengan itu,agar proses pemeriksaan dapat berjalan menurut tata cara yang ditentukan,sangat bergantung kepada validitas atau sah tidaknya pemanggilan dan pemberitahuan yang dilakukan juru sita.
Dalam hukum acara kita mengenal hal-hal yang kemungkinan terjadi dalam persidangan seperti gugatan digugurkan (Pasal 124 HIR, 148 RBg), walau kelihatannya Pengadilan terlalu kejam kepada Penggugat, tetapi itu aturannya untuk menjaga hak orang lain in casu Tergugat yang hadir memenuhi panggilan, begitu juga tidak hadirnya Tergugat diputus “verstek” (Pasal 125 HIR, 149 RBg) untuk menjaga hak Penggugat dikala Tergugat ingkar menghadiri persidangan, demikian juga pencabutan gugatan oleh pihak Penggugat (Pasal 271-272 Rv) diatur dengan tegas, akan tetapi mengenai pembatalan perkara karena kekurangan/habis biaya perkara, tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata. 
B.     Rumusan masalah
Berdasarka letar belakang diatas,maka dapat ditarik suatu permasalahan yang muncul sebagai sebuah persoalan yaitu:
1.      Pemanggilan dalam hukum acara perdata
2.      Perkara gugur dalam hukum acara perdata
3.      Perkara verstek dalam hukum acara perdata
C.    Tujuan
Dari penjelasan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum acara perdata  samping itu untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang pemanggilan,perkara gugur,dan perkara verstek.yang akan dijelaskan didalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pemanggilan
1.Pengertian Panggilan
Pengertian panggilan dalam hukum acara perdata adalah menyampaikan secara resmi (oficial)dan patut (properly)kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara dipengadilan,agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.Menrut pasal 388 dan pasal 390 ayat (1)HIR,yang berfungsi melakukan panggilan adalah “juru sita”[1].hanya panggilan yang dilakukan oleh juru sita yang dianggap sah dan resmi.kewenangan juru sita inilah berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperoleh nya lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituamgkan dalam penetapan hari siding atau penetapan pemberitahuan.
Dalam hukum acara perdata ,sebagaimana dijelaskan pasal 388 HIR,Pengertian panggilan meliputi makna dan cangkupan yang luas[2],yaitu
a.       Panggilan sidang pertama kepada penggugat dan tergugat
b.      Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidah hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alas an yang sah
c.       Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting kepersidangan)
d.      Selain daripada itu,panggilan dalam arti luas meliputi juga tindakan hukum pemberitahuan atau aanzegging (notification).

2.Tahap dan tindakan yang mendahului pemanggilan
Sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan pasal 118 ayat (1) dan pasal 121 ayat (4) HIR,panggilan merupakan tindakan lanjutan dari tahap berikut ini:
a.       Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negri (PN)
Menurut pasal 118 ayat (1)HIR, gugatan perdata harus dimasukan kepada PN berdasarkan kompetensi relative
·         Dalam bentuk surat gugatan (in writing)
·         Ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya dan
·         Dialamatkan kepada ketua PN

b.      Pembayaran Biaya Perkara
·         Pengertian biaya perkara
Biaya perkara yang harus di bayar penggugat adalah panjar biaya perkara, yang disebut juga biaya sementara, agar gugatan dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses pemeriksaan. Misalnya, biaya pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggap penting baik atas permintaan salah satu pihak ataupun atas pertimbangan majelis sesuai dengan kewenangan ex-officio yang dimilikinya.
Selanjutnya, biaya sementara berbeda dengan biaya akhir yang meliputi biaya yang timbul dalam semua tingkat peradilan. Prinsipnya biaya akhir dibebankan kepada pihak yang kalah perkara, sesuai dengan ketentuan pasal 181 ayat(1) HIR. Apabila penggugat berada di pihak yang kalah, dengan sendirinya panjar itu diperhitungkan menjadi biaya yang dipikulkan kepadanya. Apabila kurang, ia harus menambahnya, dan apabila panjar itu lebih, sisanya dikembalikan kepadanya.
·         Patokan menentukan panjar biaya
Patokan menentukan besarnya panjar biaya perkara menurut pasal 121 ayat(4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan, meliputi komponen
1.      Biaya kantor kepaniteraan, dan biaya materai
2.      Biaya melakukan panggilan saksi, ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.
3.      Biaya pemeriksaan setempat
4.      Biaya juru sita melakukan panggilan dan pemberitahuan
5.      Biaya exsekusi

·         Dimungkinkan berpekara tanpa biaya (prodeo)
Bab ketujuh HIR, mengatur tentang izin berpekara tanpa biaya. Disebut juga berpekara secara prodeo atau kosteloos ( free of charge).
·         Syarat berpekara tanpa biaya
syarat berpekara secara prodeo, diatur dalam pasal 237 HIR, yang menegaskan bagi orang-orang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberi izin untuk berpekara tanpa biaya. Berdasarkan alasan kemanusian dan keadilan umum. Member hak kepada yang tidak mampu untuk membela dan mempertahankan hak didepan sidang pengadilan secara Cuma-Cuma ( free of charge).
c.       Registrasi
Pasal 121 ayat (4) HIR, menegaskan penaftaran gugatan dalam buku register perkara, baru dapat dilakukan setalah penggugat membayar biaya perkara. Apabila biaya perkara yang ditetapkan pengadilan dibayar, penggugat berhak atas pendaftaran gugatan serta panitera wajib mendaftarkan dalam buku register perkara[3].
Hal-hal atau tindakan yang berhubungan dengan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara, terdiri atas:
a.pemberian nomor pekara
panitera memberi nomor perkara atas gugatan, berdasarkan nomor urut yang tercantum dalam buku register perkara.
b.panitera menyerahkan perkara kepada ketua PN
segera setelah panitera member nomor, perkara di serahkan atau dilimpahkan kepada ketua PN.
·         Penyerahan harus dilakukan secepat mengkin
Panitera tidak boleh memperlambat penyerahan. Hal itu melanggar asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang digariskan pasal 4 ayat (2) no. 14 tahun 1970 (diubah dengan UU No 35 Tahun 1999) dan sekarang berdasarkan pasal 4 ayat (2) UU No 4 tahun 2004. Atu memperlambat perlimpahan perkara oleh panitera kepada ketua PN tidak sesuai dengan prinsip justice delayet, justice denied (peradilan yang lambat, mengingkari keadilan).
·         Dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi keadilan, MA menggariskan pelimpahan perkara dari panitera kepada ketua PN dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal registrasi.

d.      penetapan majelis oleh ketua PN
Setelah ketua PN menerima berkas perkara dari panitera, segera menetapkan majelis yang akan memeriksa dan memutusnya. Apabila ketua berhalangan, penetapan majelis dilakukan wakil ketua
·         Jangka waktu penetapan, secepat mungkin.
·         Jangka waktu yang digariskan MA paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.

e.       Penetapan hari sidang
Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi perkara,penetapan hari sidang dituangkan dalam bentuk penetapan. Nenurut pasal 121 ayat (1) HIR penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis menerima berkas perkara dan menurut penggarisan MA paling lambat 7 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara,majelis harus menerbitkan penetapan hari sidang.
3.Tahap Pemanggilan
a.       Majelis memerintahkan pemanggilan
Setelah menerima berkas dari majelis segera menetapkan hari sedang. Dalam penetapan diikuti pencantuman perintah kepada panitera atau juru sita untuk memanggil kedua belah pihak (penggugat dan tergugat supaya hadir di depan sidang pengadilan pada waktu yang telah di tentukan berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR.
b.      Yang melaksanakan pemanggilan
Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan pemanggilan merujuk kepada ketentuan pasal 388,jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan pasal 1 Rv
·         Dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya[4].
·         Jika orang yang hendak di panggil berada di luar yurisdiksi relatif  yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan pasal 5 Rv yaitu medelegasikan pemanggilan kepada juru sita yang berwenabg di wilayah tersebut.

c.       Bentuk panggilan
Berdasarkan pasal 390 ayat (1) HIR dan pasal 2 ayat (3) Rv panggilan dilakukan dalam bentuk
·         Surat tertulis
·         Lazim disebut surat panggilan atau relas[5]
·         Panggilan tidak di benarkan dalam bentuk lisan

d.      Isi surat panggilan
Dalam pasal 121 ayat (1) HIR dan pasal 1 Rv yang menjelaskan surat panggilan pertama berisi :
·         Nama yang di panggil
·         Hari dan jam serta tempat sidang
·         Membawa saksi-saksi yang diperlukan
·         Membawa segala surat-surat yang hendak di gunakan
·         Penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat

e.       Cara pemanggilan yang sah
a.       Tempat tinggal tergugat diketahui
·         Apabila tempat tinggal tergugat diketahui tatacara pemanggilan sah adalah harus di sampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan tergugat
·         disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri jadi harus disampaikan in person kepada tergugat atau keluarganya 
·         disampaikan kepada kepaladesa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal.

b.      Tempat tinggal tergugat tidak diketahui
Pasal 390 ayat (3) HIR dan pasal 6 ke-7 Rv mengatur tatacara penyampaian pemanggilan kepada tergugat yang tidak diketahui berpatokan kepada factor:
1.      .surat gugatan sendiri menyatakan dengan tegas pada identitas tergugat, bahwa tempat tinggal tidak di ketahui.
2.      Pada identitas tergugat, surat gugatan menyebutkan dengan jelas tempat tinggalnya tetapi pada saat juru sita melakikan pemanggilan ternyata tergugat tidak ditemukan ditempat tersebut dan menurut kepala desa yang bersangkuan sudah meninggalkan tempat itu tanpa menyebut tempat tinggalnya yang baru.


B.   Perkara Gugur
a.     Pengertian perkara gugur
Mengenai Putusan Gugur diatur dalam Pasal 124 HIR/ Pasal 148 Rbg, sebagai berikut: Putusan gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena Penggugat/ Pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang Tergugat hadir dan mohon putusan)
1.      Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
2.      Putusan gugur dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
3.      Putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
§  Penggugat/Pemohon telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu.
§  Penggugat/Pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidakhadirannya itu bukan karena sesuatu halangan yang sah.
§  Tergugat/Termohon hadir dalam sidang.
§  Tergugat/Termohon mohon putusan.

4.      Dalam hal Penggugat/Pemohonnya lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur.
5.      Putusan gugur belum menilai gugatan ataupun pokok perkara.
6.      Dalam putusan gugur, Penggugat/Pemohon dihukum membayar biaya perkara  

b.      Akibat Hukum Putusan Gugur

Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai berikut:
a.       Pihak Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang didasarkan atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara itu.
b.      Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya:
·   Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau final and binding,
·   Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
c.       Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat diajukan sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya perkara baru.    
c.Tahap Pengguguran Perkara
Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut:
1.      Perkara sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam bulan untuk  melanjutkan perkara;
2.      Adanya permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak sebelum pernyataan gugur;
3.      Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;
4.      Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah dimulai;
5.      Biaya perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;
6.      Dan bila mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan baik.



C.   Perkara Verstek
1.      Pengertian,  istilah, tujuan Verstek
Verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama atau “ hukum acara tanpa hadir” [6] atau “acara luar hadir”[7],Sistem cammon law memberi istilah “default procedure”yang sama maksudnya dengan verstek procedure, yaitu acara luar hadir dan untuk verstekvonis (putusan tanpa hadir) disebut default judgement.[8]
Varstek tidak terlepas kaitannya dengan fungsi beracara dan menjatuhkan putusan atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat dan tergugat.[9] Ini berdasarkan Pasal 124 HIR (Pasal 77 Rv) dan Pasal 125 ayat 1 HIR (Pasal 73Rv). Putusan dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.
Tujuan dari sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak agar menaati tata tertib beracara sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan.
2.      Syarat acara verstek
Perihal syarat sahnya penerapan acara verstek kepada tergugat merujuk pada ketentuan Pasal 125 ayat 1 HIR atau Pasal 78 Rv. Syarat-syaratnya sebagai berikut :
a.       Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut
b.      Tidak hadir tanpa alasan yang sah
c.       Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi

3.      Penerapan acara verstek tidak imperative
Pada satu sisi undang-undang mendudukan kehadiran tergugat disidang sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperative. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela kepentingannya.disisi lain undang-undang tidak memaksakan penerapan acara verstek secara imperative. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakulatif, kepada hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak.[10] Hal ini diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan.
a.       Ketidakhadiran tergugat pada sidang pertama, langsung member wewenang pada hakim menjatuhkan putusan verstek.
b.      Mengundurkan siding dan memanggil tergugat sekali lagi.
c.       Batas toleransi pengunduran
4.      Penerapan acara verstek apabila tergugat terdiri lebih dari satu orang
Hal ini bertitik tolak dari Pasal 127 HIR, Pasal 151 RBG.
a.       Pada siding pertama semua tergugat tidak hadir, langsung dapat diterapkan acara verstek.
b.      Pada siding berikut semua tergugat tetap tidak hadir, dapat diterapkan acara verstek.
c.       Salah satu tergugat tidak hadir, siding wajib diundurkan.
d.      Salah seorang atau semua tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir pada siding berikut,tetapi tergugat yang dulu tidak hadir sekarang hadir. Dalam hal ini hakim dapat memilih alternatif  mengundurkan persidangan, melangsungkan persidangan secara kontradiktor, atau jika salah seorang tergugat terus menerus tidak hadir sampai putusan dijatuhkan maka proses kontradiktor.
5.      Saat putusan verstek dibacakan
Pasal 125 ayat 1 HIR. Apabila hakim hendak menjatuhkan putusan verstek disebabkan tergugat tidak hadir memenuhi panggilan siding tanpa alasan yang sah maka putusan harus dijatuhkan pada hari itu juga, dengan demikian putusan verstek yang dijatuhkan dan diucapkan diluar hari itu, tidak sah atau illegal karena bertentangan dengan tatatertib beracara, yang berakibat putusan batal demi hukum.
Sekirannya hakim ragu-ragu atas dalilgugatan, sehingga diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat bukti lain tindakan yang dapat dilakukan adalah mengunurkan persidangan dan sekaligus memanggil tergugat sehingga dapat direalisasi proses dan pemeriksaan kontradiktor atau dengan menjatuhkan putusan verstek yang berisi dictum menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan dalil gugatan bertentangan dengan hukumatau dalil gugatan tidak memiliki dasar hukum. Oleh kerena itu, apabila hakim ragu atas kebenaran gugatan tidak perlu ditampuh proses pemeriksaan saksi, hakim bisa langsung menerapkan acara verstek dengan putusan verstek yang menyatakan : gugatan tidak bisa diterima atau gugatan ditolak. 
6.      Bentuk putusan verstek
Diatur dalam Pasal 125 ayat 1 HIR, Pasal 149 RBG, dan Pasal 78 Rv. Dalam pasal 125 ayat 1 pada kalimat terakhir, bentuk putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan terdiri dari
a.       Mengabulkan gugatan penggugat, yaitu mengabulkan seluruh gugatandan boleh mengabulkan sebagian saja dari gugatan tersebut.
b.      Menyatakan gugatan tidak bisa diterima, apabila melawan hokum atau ketertiban atau kesusilaan, dan tidak beralasan atau tidak memiliki dasar hukum.
c.       Menolak gugatan penggugat jika menurut pertimbangan hakim gugatan yang diajukan tidak didukung alat bukti yang memenuhi batas minimal pembuktian hakim dapat menjatuhkan putusan verstek yang mengeluarkan dictum : menolak gugatan penggugat[11] .
7.      Upaya hukum atas putusan verstek
Pasal 129 HIR, Pasal 153 RBG mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek
·         Ayat 1 mengenai bentuk upaya hukumnya, yaitu perlawanan atau perzet.
·         Ayat 2 mengenai tenggang waktu
·         Ayat 3 mengatur cara pengajuan upaya hukum
·         Ayat 4 mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek
·         Ayat 5 ketentuan tentang pengajuan verzet terhadap verstek.
Beberapa aspek dalam upaya hukum yang dimaksud diatas :
a.       Bentuk upaya hukum perlawanan (verzet)
b.      Yang berhak mengajukan perlawanan
c.       Yang ditarik sebagai terlawan hanya penggugat
d.      Upaya yang dapat diajukan penggugat adalah banding
e.       Pengajuan banding penggugat, menggugurkan hak tergugat mengajukan perlawanan.
f.       Tenggang waktu mengajukan perlawanan
8.      Proses pemeriksaan perlawanan
Terdapat beberapa landasan hukum dalam pemeriksaan perlawanan atau verzet,
a.       Perlawanan diajukan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek, dengan memenuhi syarat formil yaitu diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya, disampaikan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan Pasal 129 ayat 2 HIR, perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain selain dari penggugat semula.
b.      Perlawanan terhadap verstek bukan perkara baru, putusan MA No.307K/Sip/1975 memperingatkan bahwa verzet terhadap verstek tidak dapat diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Penegasan MA No. 494K/Pdt/1983yang menyatakan dalam proses verzet atau verstek pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat.
c.       Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kembali, eksistentinya dianggap tidak pernah ada, oleh karena itu jika terhadapnya diajukan perlawanan putusan verstek tidak dapat dieksekusi, meskipun putusan tersebut mencantumkan amar dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
d.      Pemeriksaan perlawanan(verzet), pemeriksaan berdasarkan gugatan semula,proses pemeriksaan dengan acara biasa, surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan.
9.      Putusan perlawanan
a.       Putusan verzet merupakan produk kedua, apabila dalam suatu penyelesaian perkara diterapkan secara verstek, yang dibarengi dengan acara verzet terhadap putusan verstek tersebut, PN akan menerbitkan dua putusan.pertama putusan verstek sesuai dengan acara verstek yang digariskan Pasal 125 ayat 1 HIR, kedua putusan verzet berdasarkan acara verzet yang diatur pasal 129 ayat 1 HIR. Keputusan tersebut sama-sama berkaitan karena bertitik tolak dari kasus perkara yang sama. Namun keberadaannya terpisah dan berdiri sendiri.
b.      Bentuk putusan verzet, putusan verzet yang tidak bisa diterima yang berisi dictum yang menyatakan perlawanan atau verzet tidak dapat diterima hakim karena tenggang waktu yang telah ditentukan telah melebihi batas dan gugur hak untuk mengajukan verzet dan memiliki akibat hukum. Menolak verzet atau perlawanan apabila pelawan tidak mampu melumpuhkan dalil dan fakta-fakta yang diajukan terlawan hakim beralasan untuk menolak perlawanan. Sebaliknya , hakim memiliki dasar yang cukup untuk mempertahankan putusan verstek. Mengabulkan perlawanan terlawan sebagai penggugat asal tidak mampu membuktikan dalil gugatan dan gugatan terlawan/ penggugat asal cacat formil.
10.  Verstek atas verstek, tidak dapat diverzet
Prinsip ini diatur dalam Pasal 129 ayat 5
11.  Eksekusi atas putusan verstek
Diatur dalam Pasal 128 HIR.ketentuan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan prinsip umum pelaksanaan eksekusi yang digariskan Pasal 195 HIR.
a.       Putusan verstek tidak dapat dieksekusi sebelum lewat tenggang 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 ayat 2 HIR, sehubungan dengan tenggang waktu tersebut dihubungkan dengan pelaksanaan eksekusi putusan verstek, pasal 128 ayat 1HIR member batasan yaitu selam jangka waktu mengajukan upaya verzet belum dilampaui, dilarang menjalankan eksekusi putusan verstek, jangka waktu larangan adalah 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat. Berdasarhan hal ini maka eksekusi baru dapat dijalankan apabila telah lewat tenggang waktu mengajukan verzet, dan selama tenggang waktu tergugat tidak mengajukan perlawanan.
b.      Dapat dieksekusi sebelum lewat tenggang 14 hari atas alasan sangat perlu, hal ini diatur dalam pasal 128 ayat 2 HIR, memiliki syarat putusan tersebut mencantumkan dictum serta-merta, trdapat keadaan yang sangat perlu, dan ada permintaan dari penggugat yang memiliki alasan yang memenuhi katagori keadaan yang sangat perlu.
c.       Perlawanan menyingkirkan eksekusi, eksekusi terhadap putusan dengan sendirinya menurut hokum tersingkir, apabila tergugat mengajukan perlawanan. Sebab apabila ada perlawanan eksisitensi putusan mentah, seolah-olah tidak ada lagi.


BAB III
KESIMPULAN

·         Pengertian panggilan dalam hukum acara perdata adalah menyampaikan secara resmi (oficial)dan patut (properly)kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara dipengadilan,agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Menrut pasal 388 dan pasal 390 ayat (1)HIR,yang berfungsi melakukan panggilan adalah “juru sita”
·          Perkara gugur adalah perkara yang sudah diputus dengan putusan gugur. Sedangkan Putusan gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena Penggugat/ Pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang Tergugat hadir dan mohon putusan)
·         Pengertian Varstek  adalah putusan yang dijatuhkan karena Tergugat/ Termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang Penggugat hadir dan mohon putusan.
.Putusan Verstek diatur dalam Pasal 125-129 HIR dan 196-197 HIR, Pasal 148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU no. 20 tahun 1947 dan SEMA No. 9/1964.












LAMPIRAN

No. …/19 …/Pdt/PN ….
SURAT PEMANGGILAN SIDANG

Pada hari ini, …….tanggal  …….., saya Panitera (Pengganti) pada ---- Pengadilan Negeri di ……, ditunjuk oleh dan guna memenuhi ------ perintah Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri tersebut, sebagaimana termuat dalam Surat Ketetapan tanggal ….. No. …./Pdt/PN ------ untuk melaksanakan pekerjaan sebagai Juru Sita Pengganti: ---------

TELAH MEMANGGIL KEPADA
1.         ………., bertempat tinggal di Curup, dimana saya ------ bertemu dan berbicara dengannya sendiri (jika tidak bertemu, ------- dengan Kepala Desa),sebagai Penggugat; ----------------
2.         ………., bertempat tinggal di Curup, dimana saya ------ bertemu dan berbicara dengannya sendiri (jika tidak bertemu, ------- dengan Kepala Desa),sebagai Tergugat; ----------------

Untuk menghadiri sidang Majelis Hakim Pengadilan Negeri di  ……., pada hari ……, tanggal ……., pukul ……. Pagi, untuk didengar keterangan mereka dalam perkara tersebut,dengan membawa saksi-saksi yang ------- mereka ingin agar didengar dan surat-surat yang mereka ingin ajukan  ------- sebagai bukti. ---------------------------

Kepada Tergugat tersebut saya serahkan sehelai turunan Surat Gugatan bermeterai cukup dengan pemberitahuan bila dia mau, boleh menjawab  --- gugatan itu secara tertulis yang ditandatangani, baik olehnya sendiri ----- maupun oleh Kuasanya dan diserahkan dimuka sidang Majelis Hakim ----- tersebut.------------------------------------

Juru Sita Pengganti tersebut

(…………………………..)
DAFTAR PUSTAKA

Harahap Yahya. 2011.Hukum Acara Perdata.Jakarta:Sinar Grafika.
Muhammad Abdulkadir.1992.Hukum Acara Perdata Indonesia.Bandung:Citra Aditya Bakti.
Soepomo.1993.Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri.Jakarta:Pradnya Paramita.
Martokusumo Sudikno.1988. Hukum Acara Perdata  Indonesia.Yogyakarta: liberty
Subekti,R. 1977.Hukum Acara Perdata. Jakarta: Bina Cipta




[1] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,h.213
[2] Ibid,.
[3] Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yokyakarta,h.75.
[4] Ibid,.
[5] Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta,1977,h.45.
[6] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdeta Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,1992,h.97.
[7] Soepomo,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993,h.34.
[8] Yahya harahap, Op. cit, h.381
[9] Ibid,
[10] Ibid,h.389.
[11] Abdulkadir , op.cit.,h.100.